Oleh : Muhammad Rahman
Athian S.Pd., M.Sn*
Sudah kali
ketiga Batang menyelenggarakan event berkelas
Nasional yang bertajuk Batang A(r)ttention
ini. Setelah menuliskan “Positively
Energy” dan “Upaya Menghimpun Gelombang” pada pameran pertama dan kedua.
Saat saya mendengar kabar dari Mas Tri (Tribakdo) untuk mendapat kehormatan
kembali menjadi penulis kuratorial pameran ini, mencoba menuliskan sesuatu dari
perspektif penulis sebagai warga Batang. Prespektif tersebut saya dalami ketika
saya melihat keadaan geografis, susunan pemerintahan dan pola pemikiran
masyarakat di kota ini yang hampir kesemuanya bersifat triadic atau serba
berpola tiga, maka saya membungkus tema pameran kali ini dengan satu kata “TRIKOTOMI”.
Pengunjung memadati pameran Trikotomi
TRIKOTOMI
Trikotomi adalah ajaran yang
mengatakan bahwa diri manusia terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: roh, jiwa dan
tubuh. Roh memiliki kuasa, bisa baik dan bisa juga jahat. Roh tersebut bekerja
di dalam hati manusia dan dapat terlihat dari cerminan hati manusia. (Wikipedia
: 2016).
Untuk itulah Trikotomi saya
gambarkan menjadi sebuah wacana untuk mengalisis filosofi triadic di Batang.
Katakanlah, seorang manusia dapat hidup jika memiliki beberapa hal yaitu : Ruh,
Jiwa dan Tubuh. Maka Daerah juga dapat hidup jika memiliki tiga unsur yaitu :
Militer sebagai tubuh, Budaya sebagai jiwa dan Pemerintahan sebagai Ruh. Dengan
kata lain, sebuah daerah tidak akan hidup jika pemerintahannya lemah, atau
bahkan tidak ada. Sebagai tonggak penggerak Militer menjadi sebuah ikhwal wajib
yang digerakkan, jika kekuatan militer menjadi panglima?! Kita semua pernah
merasakannya pasca PKI. Terakhir adalah Budaya sebagai jiwa. Menggerakkan
budaya pada daerah-daerah sama saja memupuk ke-arif-an jiwa masyarakat pada daerah
tersebut.
Budaya sama seperti watak yang
akan menjiwai sebuah daerah. Jika sebuah masyarakat memiliki tingkat kesenian
yang tinggi, saya berani memastikan masyarakat tersebut memiliki budaya yang
tinggi dan itu berpengaruh langsung pada “imej” kota tersebut. Ada beberapa
kota yang menjadikan budaya menjadi ujung tombak devisa melalui ekonomi
kepariwisataan, seperti Yogyakarta, Bali, Solo dan beberapa kota lainnya.
Melalui pameran Batang Arttention dan
Batang Art Festival yang
diselenggarakan secara annual ini
menunjukkan keseriusan pemerintah untuk mensejajarkan budaya sepenting militer
dan pemerintahan itu sendiri.
Pola triadic
berikutnya adalah pola masa lalu, sekarang dan masa datang. Jika ada sebuah
kesuksesan suatu era, maka dapat kita lihat pola kebudayaannya, sehingga dapat
kita tiru sebagai sesuatu yang berpola dan mungkin bisa terulang kembali. Untuk
itu saya akan secara ringkas membahas Batang di masa Jaya Nusantara sebagai
tolok ukur pola kejayaan di masa itu.
NASKAH SOJOMERTO, DINASTI SAILENDRA DAN AKHIR PERIODE HINDU DI NUSANTARA
Membicarakan kebudayaan tertua di
Batang tidak akan pernah luput dari pembicaraan Sailendra dan prasasti
Sojomerto, prasati ini merupakan sebuah bentuk sesembahan Sailendra yang
merupakan bapak dari raja-raja Jawa kuno. Beberapa sumber menyebutkan bahwa
Dapunta Sailendra merupakan seorang
India yang menyebarkan agama Hindu, namun dari prof. Poerbatjaraka dalam
kutipan Agus Munandar dijelaskan kira-kira seperti ini :
Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya
dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Śailendra, asli
Nusantara yang menganut agama Śiwa. Dengan kata lain, Sailendra merupakan
seorang asli Nusantara karena menggunakan bahasa Jawa Syiva atau dalam
naskah-naskah kuno sering disebut Jawi (asal usul melayu), nantinya abad ini
akan menjadi abad klasik keemasan Nusantara yang merupakan perpindahan dari
Hindu menuju Buddha.
Prasasti Sojomerto memperkuat
teori ini, Prasasti ini menyebutkan bahwa Dapunta Sailendra dan menyebutkan
beberapa nama keluarganya ayah, ibu dan istrinya. Seperti pada naskah Sojomerto
di bawah ini;
… dari yang mulia
Dapunta Selendra (Sanjaya)
Santanu adalah nama bapaknya, Bhadrawati adalah nama ibunya, Sampula adalah nama istri dari yang mulia Selendra.
Santanu adalah nama bapaknya, Bhadrawati adalah nama ibunya, Sampula adalah nama istri dari yang mulia Selendra.
Tulisan di atas jika ditelisik
lebih dalam seperti menegaskan bahwa Dapunta Sailendra adalah penulis dari arca
tersebut, mengingat posisinya adalah subjek yang mengatasnamakan “dari”. Namun
ada sebuah misteri yang menarik di sini, mengapa Sanjaya tidak menuliskan nama
aslinya namun nama jabatan? Bahkan menuliskan nama ayah dan ibu bahkan
istrinya? Jawabannya beraneka ragam, pertama mungkin Sailendra menuliskan
kalimat tersebut untuk memperlihatkan keluarganya adalah penganut Hindu, kedua
Sailendra adalah seorang politisi yang hebat yang berniat memberikan
keturunannya kekuasaan darinya, atau ketiga yang paling masuk akal adalah
karena keluarga ini berasal dari Batang.
Teori ketiga sebenarnya teori
yang tidak begitu kuat, hal ini mengingat banyaknya bukti-bukti peradaban Hindu
yang kebudayaannya mendekai Budha di Batang ditemukan oleh petani yang dia
sendiri tidak tahu benda itu apa. Dimungkinkan juga dikarenakan terjadinya
perubahan permukaan bumi yang disebabkan menguatnya aliran bawah permukaan
bumi, morfologi daerah Sojomerto menjadi naik ke atas permukaan, itulah mengapa
di daerah pesisir tidak ditemukan peninggalan Hindu baik itu berupa tanda
keberadaan penduduk ataupun kerajaan. Budaya yang kental pada masa itu adalah
budaya akulturasi India yang menyesuaikan dengan kebutuhan penduduk Nusantara,
di India yang tidak sering terjadi bencana penduduknya menyembah Wisnu, atau
Brahma, namun di Indonesia karena daerahnya waktu itu sering terjadi gempa dan
mengakibatkan lempengan bumi bergejolak maka lahirlah bencana dan akhirnya
menyembah syiva. Teori ini juga memperkuat jika Sanjaya ingin meninggalkan
tanah kelahirannya karena terlalu banyak bencana.
Jika benar Sailendra (Sanjaya)
ini berasal dari Batang, maka kota kita ini menjadi toggak penting kesejarahan
Buddha di Indonesia.
BATANG, RIWAYATMU
KINI
Sebagai orang asli Batang, saya sering mendapati percakapan
yang kurang lebih seperti ini…
D: “Athian, rumahnya mana?”
A: “Batang bu…”
D: “Batam? Jauh sekali?!”
A: “Batang bu, Jawa Tengah… Semarang ke Barat terus”
D: “Oooh yang banyak duriannya itu? Jalannya enak sih, jadi
ga nyadar….”
Sering sekali saya menjumpai
beberapa kejadian seperti itu, dan si penanya justru kadang lebih tahu kota
lainnya dibandingkan kota Batang. Miris rasanya ketika mengalami hal ini, terkadang
saya berfikir kenapa kota ini sangat mirip aksentuasi namanya dengan Batam?!
Atau kota kita kurang dikenal karena tidak terlalu terekspos di media? Atau justru
ke-khas-an budaya kita yang tidak terlihat?
Lagi-lagi soal budaya dan pola
triadik, Batang seharusnya dapat mengemas pola riwayatnya dalam sebuah wadah
berupa museum. Entah itu museum Antropologi atau museum seni, sangat dibutuhkan
di kota Batang. Tentunya kita sering berfikir museum adalah tempat meyimpan
barng kuno? Benar itu tidak salah, namun museum bukan hanya menyimpan barang
kuno, bahkan barang paling mutakhir-pun bisa di pajang dalam sebuah museum,
karena museum adalah buku yang berbentuk artefak. Museum sebagai penguat budaya
masa lalu dibutuhkan dalam menanggapi permasalahan identitas di Batang, agar
memberikan kontribusi pada pengetahuan saat ini dan tidak tercerabut akar
budaya. Kemudian museum dapat pula menjadi sebuah tempat untuk merefleksi masa
depan, dengan kita tahu cara seseorang berjuang, maka bukan tidak mustahil pola
tersebut akan diikuti oleh orang lainnya.
BUDAYA DAN NARASI
SIMBOL
Dalam sebuah daerah kekuasaan
pemerintah terkadang memiliki budaya yang berbeda-beda, misalkan aksen daerah
Batang dan Kecamatan Subah, Blado dsb saja sudah sangat berbeda. Apalagi di
dunia yang sangat luas ini?! Mudahnya, di Perancis mencium tangan wanita yang
dihormati, di Indonesia mencium tangan dianggap mencari berkat atau doa dari
orang yang dicium tangannya. Mencium tangan jika digambarkan seniman Indonesia
dan seniman Barat akan berbeda sekali pemaknaannya, karena seniman tersebut
masing-masing memiliki pemahaman yang berbeda dai budaya mereka.
Bahkan hanya cara memberi salam saja terdapat banyak arti
dan banyak perbedaan, Tugas kita para
budayawan dan seniman untuk menjaga cara “bersalaman” itu dengan tetap
menggunakannya se-arif mungkin sesuai dengan budaya asal kita, dan bukan malah
merubahnya karena menganggap budaya dari bangsa lain lebih baik.
Itu adalah analogy yang paling mudah menjaga budaya, pakar
Antropologi mengatakan:
Culture
is a system of knowledge, beliefs, patterns of behavior, artifacts, and
institutions that are created, learned, and shared by a group of people. Culture includes shared norms, values, symbols,
mental maps of reality, and material objects as well as structures of power,
including the media, education, religion, and politics — Guest, Kenneth J.
Kebudayaan
adalah system pengetahuan, kepercayaan dan perlakuan sehari-hari dan institusi
yang terkreasi, terpelajari dan yang tersebar di masyarakat. Dalam sebuah
budaya terdapat Norma, Nilai, Simbol, Pemetaan tingkah laku, dan objek material
selama ada struktur kekuatan yang berlaku, termsuk di dalamnya media, edukasi,
agama dan politik. Dari pernyataan tersebut dapat ditaksir bahwa Simbol
merupakan salah satu unsur budaya, nilah kerja seorang seniman.
Seniman
mengkonstruksi simbol dan mengrahkan simbol tersebut pada dokumentasi, kritik
atau pujian terhadap keadaan saat ini melalui simbol-simbol yang dapat
dimengerti oleh masyarakat luas. Dengan kata lain seniman bermain pada dunia
visual dan mempengaruhi pola pikin individu agar membaca simbol-simbol yang
memiliki pesan tertentu.
Batang
sebagai kota yang memiliki “laut”, “tengah”, “gunung” menjadikan kota ini
memiliki sifat triadic dalam berbudaya. Maksudnya adalah, masyarakatnya
memiliki pemahaman bahwa dalam hubungan manusia dengan alam memerlukan tangan
ketiga yaitu tangan Tuhan. Contoh, (saya melihat dari sudut pandang ilmiah)
hubungan masyarakat Batang dengan penjualan dan usahanya dihubungkan dengan
menciptakan tokoh Dewi Lanjar untuk memberikan sebuah ruang dan waktu agar
saling berkumpul dalam bentuk Kliwonan.
Siapapun
pencetus ide Kliwonan benar-benar seorang yang jenius! Dia adalah seniman dan
budayawan sejati, yang bisa menyatukan pola pikir animism dinamisme di
Indonesia dengan keberagaman agama yang belakangan mendasari Negara ini.
Perbedaan ini bukan sebuah konflik, namun perbedaan ini adalah budaya Batang
itu sendiri, meskipun sebenarnya budaya ini sangat bisa di rubah dengan budaya
Arab? Budaya Eropa atau bahkan Budaya Liberalis?
Dari visual simbol
yang dibuat seniman pada Batang Arttention 2016 ini semoga seluruh seniman
dapat membuat suguhan-suguhan yang menarik, dengan menyatukan konsepsi-konsepsi
simbol demi perkembangan kota Batang khususnya, dan Pantura umumnya.
*) Penulis adalah kurator muda Indonesia
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar disini, terima kasih