Oleh : Muhammad Rahman Athian., S.Pd., M.Sn
Membaca dialog tentang perempuan memang selalu
menarik untuk dibahas. Karena seringkali dialog yang ada bukan hanya sekedar
dialog, tapi justru membaca sebuah paradoks perasaan dalam setiap kata, antara
yang perasaan dan logika masih terlihat ambigu. Misal ketika ada seorang
perempuan yang mengatakan “saya seorang feminist”,
maka yang tergambar adalah dua hal, yang pertama secara perasaan memang dia
ingin membela kaum Hawa, atau justru
menggunakan logika untuk memperlihatkan kepada saya bahwa keberadaannya setara
bahkan mungkin lebih tinggi dari laki-laki.
Saat saya mendapati judul “FEMALEKTIKA”
(merupakan abstraksi dari Dialektika Perempuan) pada pameran seni yang di usung
di Rembang ini, saya tergoda untuk mengaitkan pemikiran di atas dengan konsep
FEMALEKTIKA ini, lalu kemudian saya coba memecah dan mendefinisikan kata
tersebut satu persatu.
Female merupakan sebuah kata dari bahasa Inggris yang
berarti perempuan, kemudian diartikan oleh Carrie L. Buist sebagai seorang yang
menghasilkan ovum. Sedangkan jika dilihat melalui gen dan sifat orang tersebut
memiliki sifat dominan feminin, feminin adalah sebuah tanda-tanda dan perilaku
yang umumnya dimiliki seorang perempuan. Kemudian bagi mereka yang
memperjuangkan perempuan dan hak-hak serta menganggap kesetaraan dan bahkan
menginginkan lebih dominasi yang lebih seringkali dikatakan sebagai feminis.
Sedangkan Dialektika adalah sebuah metoda yang
digunakan oleh Hegel dalam memahami realitas sebagai perjalanan menuju
kesempurnaan. Hegel membagi tahapan kesempurnaan dalam sebuah dialektika
menjadi tiga bagian, yang pertama Tesis, Antitesis dan Sintesis atau yang lebih
dikenal dengan “The Theory of the Union
of opposites” (teori tentang persatuan hal-hal yang bertentangan). Misalkan
ada seorang perempuan mengatakan “saya adalah seorang ibu” maka hal itu adalah
sebuah tesis atau pernyataan dimana seorang mengatakan dirinya sebagai ibu.
Namun menurut Hegel hal ini belum sepenuhnya merupakan pernyataan yang sempurna
karena dia tidak memiliki antitesis yaitu seorang anak yang mengatakan bahwa
“saya adalah anak dari ibu tersebut” sehingga pernyataan tersebut menjadi sintesis
atau kalimat yang utuh.
Paradoksal pemikiran perempuan inilah yang
seringkali membuat kaum perempuan menjadi seorang yang justru paling sempurna
dalam berfikir. Karena perempuan melibatkan perasaan sebagai tesis dan
logikanya sebagai antitesis untuk membuat kesimpulan atau sintesis yang
menurutnya benar. Namun demikian, seringkali pergelutan antara tesis dan
antitesis yang dimiliki tidak sering pula menimbulkan konflik psikologis dan
akhirnya menjadi sebuah tabiat meski sebenarnya keputusan sintesisnya belum
tentu tepat jika dinilai dalam sebuh struktur nilai.
Saya mengambil contoh seorang Frida Kahlo,
siapa yang tidak mengenalnya sebagai seorang seniman sekaligus politisi di
Meksiko. Penderitaannya yang bertubi sebagai seorang perempuan menjadikan dia
melukis dirinya sebagai subjek atas apa yang dia alami. Sebagai seorang yang
menderita cacat sejak remaja Kahlo melukiskan dirinya sebagai objek dalam
karya-karyanya. pada kasus percintaannya dengan Diego Rivera, Kahlo dihianati
karena terjadi perselingkuhan antara Diego dan kakak kandung Kahlo, Jika kita
cermati lebih dalam, kaya Kahlo merupakan sebuah dialektika terhadap dirinya
sendiri, dimana terjadi sebuah permasalahan, kemudian Kahlo melakukan
penyangkalan dengan berandai dia menjadi laki-laki dalam lukisannya sehingga
permasalahan tersebut ia jawab dengan menjadi biseksual karena merasa jenuh
terhadap perlakuan laki-laki.
Karya Frida Kahlo
Meskipun demikian, hal ini menjadi polemik yang
masih paradoks, benarkah Kahlo melakukan hal itu karena memang perasaannya yang
kalut? Ataukah sebenarnya justru ini merupakan sebuah penggambaran dan
pencitraan laki-laki Meksiko pada waktu itu, sehingga Kahlo bersikukuh menjadi
seorang lesbian? Dari kedua permasalahan tersebut tidak bisa ditarik sintesis
karena memang permasalahan tersebut terlampau pribadi. Akhirnya, paradoks
seorang perempuan lagi-lagi membuat sebuah rahasia yang selalu menarik untuk
dibahas.
Dari ikhwal Kahlo di atas, apakah Kahlo
memiliki masalah dalam mengambil keputusan atau sintesis? Jawabannya tergantung
dari prespektif mana anda melihat, dan apakah Kahlo memerlukan pembelaan untuk
itu?
BENARKAH PEREMPUAN PERLU DIBELA?
Pada awal pemikiran feminis, seperti Mary
Astell dan Mary Wollstonecraft, mengatakan bahwa perbudakan merupakan awal
model pemikiran feminis dalam menyangkal teori kekuasaan yang selama ini ada. Dalam
Astell (1996: 18) memberikan pertanyaan sinis, ' Jika semua Laki-laki
dilahirkan dengan kebebasan, bagaimana mungkin semua Perempuan dilahirkan sebagai
budak?"
Sebagai orang yang memiliki dominasi gen
feminin seringkali perempuan memiliki perangai yang lebih halus dari kaum
laki-laki. Hal ini menyebabkan perempuan menjadi objek eksploitasi. Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah, sedemikian lemah-kah perempuan itu? Sehingga
membutuhkan gerakan tertentu (baca feminis) untuk memperjuangkan kaumnya?
Mari berandai-andai apa yang terjadi jika pada
perang dunia pertama tidak dicampuri oleh pergerakan dari kaum perempuan untuk
menghentikan peperangan? Jawaban yang paling masuk akal adalah faham sosialis
dan komunis memenangkan perang dingin sehingga komunis menjadi dominan di
dunia. Saya menuliskan pernyataan tersebut bukan untuk mempermasalahkan faham
entah itu komunis maupun liberalis. Namun saya menggunakan sebuah anaogli
berfikir seperti Kristen Intemann dalam tulisannya yang berjudul “Feminist
Standpoint” bahwa sebenarnya gerakan feminis paling mutakhir adalah ketika
Marxisme berjaya di dunia.
Perempuan mengenal istilah “Power” justru dari pemikiran Marxis yang
menganggap semua gender sama saja, sehingga mereka dibebaskan untuk menikmati
jenjang pendidikan seperti laki-laki hal itu tidak dipungkiri. Namun yang
terjadi sebenarnya adalah eksploitasi terhadap perempuan menjadi semakin
mengerikan, buruh perempuan yang di bayar sangat kecil, eksploitasi seksual
terhadap perempuan pada perang dunia II, yang terakhir adalah ketidakhadiran
laki-laki karena melaksanakan tugas bela Negara.
Jelas! Perempuan tidak tinggal diam, mereka
akhirnya melakukan doktrin besar-besaran terhadap anaknya, dan akhirnya pada
tahun 1986 para aktivis perempuan juga mulai memiliki gelar, penemuan dan
akhirnya diakui oleh pemerintah kedudukannya sebagai tulang punggung sebuah
Negara. Tentunya melalui doktrin mereka (terhadap anaknya) akhirnya perang
dingin berakhir. (e.g., Hardy 1986; Harding 1986; Gero and Conkey 1991).
Karya tentang Perempuan
Dari kacamata tersebut tersirat sebenarnya
perempuan tidak butuh dibela, mereka dapat berdiri menggunakan kekuatannya,
ke-khas-an perilaku dan tindak-tanduknya dapat mewakili pondasi yang kuat dalam
sebuah pemikiran suatu Negara. Perempuan sudah memiliki kekuatan yang
terkandung dalam dirinya, hanya memang sedikit sekali kaum perempuan yang
menginginkan dominasi kekuasaan seperti kaum laki-laki.
Mengenai perempuan dan kedudukannya di mata
sejarah saya membungkusnya dengan pertanyaan bagaimana kedudukan perempuan di
dalam sejarah? Sedangkan sejarah (History)
merupakan singkatan dari “His” dan “Story” tidak pernah ada “Her” dan “Story”. Untuk membahas persoalan tersebut mari kita mencoba
berfikir filosofis dalam subbab berikutnya.
Tahukah anda arti dari rangkaian kalimat “Female Is The New Male”? Saya
terinspirasi dari kalimat “orange is the
new black” yang merupakan judul dari seri TV yang cukup kenamaan di
Amerika. Kalimat ini dirancang dengan maksud menjadi metafora perubahan
definisi sebuah konsep. Warna yang menyimbolkan kepahitan, kedukaan ketegangan
dan kematian adalah warna hitam, namun mengapa jingga adalah definisi baru dari
warna hitam? Bukankah jingga adalah warna yang cerah, segar dan enerjik?
Ternyata jingga dalam film ini menggambarkan sebuah seragam penjara perempuan
di Amerika. Pantaslah jika jingga digambarkan sedemikian menyedihkannya oleh
sutradara Laura Prepon.
Tidak berbeda dengan konsepsi tersebut di atas,
pernyataan “Female Is The New Male”
merupakan sebuah pendekatan kalimat metafora untuk menggambarkan konsep dimana
seorang laki-laki yang sifatnya keras, mendominasi, memiliki struktur badan
yang lebih besar, lebih kuat dsb, dialih artikan kepada pengertian perempuan
yang sering kita anggap memiliki sifat sebaliknya. Maksud dari pernyataan saya
adalah, gerakan perempuan yang seringkali tidak berniat mendominasi dan ikhlas
menuruti perasaannya menggiring mereka kurang memikirkan imbas untuk dirinya.
Saya coba analogikan dengan kisah perempuan
yang melegenda, Raden Ajeng Kartini, pemikirannya terhadap kemajuan perempuan
di Indonesia merupakan bentuk kekuatan yang bahkan melebihi laki-laki. Beliau
yang mempelopori kesetaraan perempuan dan sangat menjunjung hak-hak perempuan.
Beliau tahu pasti, perempuan tak perlu dibela, hanya perlu dididik dan diajari
agar memiliki “power” yang setara
sehingga perempuan tidak lagi dipandang sebagai tokoh “figuran” di dunia ini.
Untuk membahas peran wanita dalam dunia ini,
kita coba lihat kajian teologi yang bernama “APOTHEOSIS”. APOTHEOSIS adalah
saat dimana seorang manusia dianggap menjadi dewa karena memperjuangkan hak-hak
tertentu. Contoh mudahnya Dalam Mesir kuno, Pharaoh seringkali
disamakan dengan Osiris. Dalam kebudayaan Helenistik Yunani,Phillip II
dari Macedonia,Alexander The Great menyamakan dirinya dengan para dewa. Dalam Romawi
Kuno,proses perubahan manusia menjadi dewa ini harus berdasarkan keputusan
senat atau berdasarkan dari keputusan rakyat yang mempopulerkan suatu tokoh.
Dalam Cina Kuno, khususnya dalam Dinasti Ming, banyak manusia fana yang dijadikan sebagai dewa berdasarkan prestasi mereka.contohnya adalah: Guan Yu. Seorang Jendral yang kekuatannya disamakan dengan 10.000 tentara biasa. Dalam Dinasti Song,kita bisa melihat Yue Fei yang dijadikan dewa berdasarkan ranking 3 tertinggi dalam pangkat Jendral Surga. Dalam Kekristenan, kita bisa melihat seorang tokoh terkenal yang dijadikan Tuhan yakni, Yesus. Dalam Dunia Modern, kita bisa melihat berbagai contoh, yaitu:
George Washington, di gambarkan dalam The Apotheosis of Washington.Lukisan dindingnya bisa disaksikan hingga kini di gedung U.S. Capitol,yang di gambarkan oleh seniman terkenal Constantino Brumidi Fresco.
Dalam Cina Kuno, khususnya dalam Dinasti Ming, banyak manusia fana yang dijadikan sebagai dewa berdasarkan prestasi mereka.contohnya adalah: Guan Yu. Seorang Jendral yang kekuatannya disamakan dengan 10.000 tentara biasa. Dalam Dinasti Song,kita bisa melihat Yue Fei yang dijadikan dewa berdasarkan ranking 3 tertinggi dalam pangkat Jendral Surga. Dalam Kekristenan, kita bisa melihat seorang tokoh terkenal yang dijadikan Tuhan yakni, Yesus. Dalam Dunia Modern, kita bisa melihat berbagai contoh, yaitu:
George Washington, di gambarkan dalam The Apotheosis of Washington.Lukisan dindingnya bisa disaksikan hingga kini di gedung U.S. Capitol,yang di gambarkan oleh seniman terkenal Constantino Brumidi Fresco.
Dalam kajian di Indonesia seringkali keturunan
raja-raja jawa dikatakan adalah keturunan dewa-dewa dalam pewayangan.
Katakanlah Gusdur yang dibuatkan patung dalam sebuah pameran dan dianggap
sebagai Buddha karena dihormati sebagai dewa karena merupakan orang yang
membela etnis Tionghoa dan agama Buddha.
Contoh karya Aphotheosis
Arti dari APOTHEOSIS adalah pemberian
penghargaan kepada seseorang yang telah berkomitmen dan menginspirasi
masyarakat. Dan jika kita tilik lebih lanjut lagi, nama perempuan tidak banyak
yang dianggap dan dijadikan APOTHEOSIS. Kartini misalnya, dia dijadikan “ibu” dalam
lagu “Ibu Kita Kartini” yang sifatnya menyayangi, mengayomi dan mencintai
anak-anaknya bukan “dewi” yang justru memiliki kuasa atas sesuatu.
Agaknya pameran FEMALEKTIKA ini merupakan
sebuah titik tolak yang mengupas dialektika kaum perempuan yang seringkali
dianggap lemah, padahal memiliki imbas yang paling kuat. Yang pemikirannya
sering dianggap tidak masuk akal padahal memiliki paradox yang justru sangat
masuk akal dan membangun. Serta para perempuan yang berusaha mengubah dunia ini
dengan cara mereka seringkali mengesampingkan pikiran pengangkatan jasa pada
dirinya untuk tujuan kekusasaan. Perempuan cukup bahagia dihargai hanya menjadi
ibu, yang mengayomi bukan sebagai dewi yang mendominasi.
Penulis adalah curator muda Indonesia*)
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar disini, terima kasih