Oleh: Muhammad
Rahman Athian
“the characteristics associated with one who advances his career even at the expense of his pride and dignity.-careerist” (karakteristik yang terkait dengan orang yang kemajuan karirnya bahkan dengan mengorbankan kebanggaan dan martabat.-Pekarir) kutipan dari www.thefreedictionary.com/careerism. "The practice of advancing one's career at the expense of one's personal integrity." (Webster.com). karirisme sendiri muncul pada tahun 60-90 di barat, keadaan ini menimbulkan banyak ketidakstabilan di seni rupa di amerika karena penilaian suatu karya bukan dari latar pendidikan, bukan dari hal yang bersifat formal, namun konvensi “hebat” adalah dari nominal angka dari harganya, dengan kata lain pasar berkehendak atas segalanya hingga banyak memberi pengaruh negatif.
“the characteristics associated with one who advances his career even at the expense of his pride and dignity.-careerist” (karakteristik yang terkait dengan orang yang kemajuan karirnya bahkan dengan mengorbankan kebanggaan dan martabat.-Pekarir) kutipan dari www.thefreedictionary.com/careerism. "The practice of advancing one's career at the expense of one's personal integrity." (Webster.com). karirisme sendiri muncul pada tahun 60-90 di barat, keadaan ini menimbulkan banyak ketidakstabilan di seni rupa di amerika karena penilaian suatu karya bukan dari latar pendidikan, bukan dari hal yang bersifat formal, namun konvensi “hebat” adalah dari nominal angka dari harganya, dengan kata lain pasar berkehendak atas segalanya hingga banyak memberi pengaruh negatif.
Pasar seni rupa Indonesia tidak jauh beda dengan kondisi itu sekarang, karena infrastruktur pemerintah yang sangat lemah dalam seni maka menjadikan pasar menjadi tolok ukur keberhasilan seorang seniman. Gejala kapitalis yang materialistis sangat terlihat, dibuktikan dengan banyaknya seniman yang menitik beratkan pola kesenimanannya pada hal yang disebut karirisme tadi mengingat seni rupa sebagai karir belakangan mulai diakui di masyarakat, kesepakatan tak tertulis yang mengatakan bahwa “harga adalah patokan tertinggi dalam seni rupa” menjadikan seniman memoles CV nya, proposal pameran yang dibuat semenarik dan se “urgent” mungkin, kartu nama, website, pemberitaan berlebihan di surat kabar biasa dan bahkan di barat seringkali menggunakan e-newsletter adalah semacam peraturan tak tertulis guna mencapai titik puncak karir.
Ruangan Tanpa
Sekat dalam Karir Seni Rupa
Seni rupa sebagai karir yang tidak berjenjang dan tidak bersekat menjadikan banyaknya persaingan tidak sehat dalam mencapai puncaknya, sedikit membandingkan dengan karir sebagai pegawai negeri, jika seorang pegawai berpendidikan tinggi maka dia layak mendapat jenjang karir yang lebih tinggi, berbanding terbalik dalam seni rupa bahkan jika dia tanpa pendidikan tinggi pun asalkan pasar menerimanya dengan baik maka dia mendapat pengakuan. Akhirnya peran manajemen sebagai alat kapitalis sangat diperlukan, entah itu manajemen individu maupun manajemen yang terorganisir.
Yang menarik adalah hal ini menyebabkan seniman yang belum diakui menjadi “latah” dengan pola berkesenian yang mengacu pada seniman yang sudah diakui. Kelatahan itu ditunjukkan dengan membuat figur khas yang cenderung mirip dengan kecenderungan yang jauh dari karyanya yang sebelumnya tanpa dilandasi konsep biografi yang kuat. Dalam beberapa kasus, karirisme sangat membuat khawatir seniman senior dan melarang junior mendahului senior lalu jarak semakin jauh dan junior membuat komunitas sendiri (menjadi pemisah) serta seniman akademisi yang secara track bagus akan lebih mudah untuk di “poles” dan mudah diserap market.
Metode Penelitian akan dilakukan dengan Kualitatif deskriptif yang merupakan sebuah kumpulan deskripsi karena menyajikan beberapa data, kemudian dianalisis, lalu diinterpretasikan. Proses interpretasi teknik analisis data yang digunakan adalah kuantitatif.
Seni rupa sebagai karir yang tidak berjenjang dan tidak bersekat menjadikan banyaknya persaingan tidak sehat dalam mencapai puncaknya, sedikit membandingkan dengan karir sebagai pegawai negeri, jika seorang pegawai berpendidikan tinggi maka dia layak mendapat jenjang karir yang lebih tinggi, berbanding terbalik dalam seni rupa bahkan jika dia tanpa pendidikan tinggi pun asalkan pasar menerimanya dengan baik maka dia mendapat pengakuan. Akhirnya peran manajemen sebagai alat kapitalis sangat diperlukan, entah itu manajemen individu maupun manajemen yang terorganisir.
Yang menarik adalah hal ini menyebabkan seniman yang belum diakui menjadi “latah” dengan pola berkesenian yang mengacu pada seniman yang sudah diakui. Kelatahan itu ditunjukkan dengan membuat figur khas yang cenderung mirip dengan kecenderungan yang jauh dari karyanya yang sebelumnya tanpa dilandasi konsep biografi yang kuat. Dalam beberapa kasus, karirisme sangat membuat khawatir seniman senior dan melarang junior mendahului senior lalu jarak semakin jauh dan junior membuat komunitas sendiri (menjadi pemisah) serta seniman akademisi yang secara track bagus akan lebih mudah untuk di “poles” dan mudah diserap market.
Metode Penelitian akan dilakukan dengan Kualitatif deskriptif yang merupakan sebuah kumpulan deskripsi karena menyajikan beberapa data, kemudian dianalisis, lalu diinterpretasikan. Proses interpretasi teknik analisis data yang digunakan adalah kuantitatif.
Produksi
Konsumsi yang Berhasil (Modal Sekecil-Kecilnya Untung Sebesar-besarnya)
Jika dilihat dari sosiologi seni pola karirisme adalah salah satu sebab dari adanya kebutuhan konsumen mengkonsumsi karya seni dari seorang seniman, hal ini hampir sama saat seorang menjual mainan, jika pedagang satu melihat mainan lain yang dijual pedagang lainnya lebih laku di bandingkan dagangannya maka keesokan harinya pedagang itu akan membeli mainan serupa untuk dijual dengan harapan juga laku. Kemuadian sangat jelas terlihat pula pentingnya sebuah manajemen yang baik akan mengantarkan seniman menempati puncak dengan pencitraan yang diatur oleh dirinya sendiri maupun manajemennya.
Pada akhirnya adanya karirisme dalam dunia seni rupa merupakan sebuah fenomena seni rupa Indonesia sudah sangat dekat dengan faham kapital, sehingga karya seni rupa (meskipun tidak semuanya demikian) hampir menjadi tidak berbeda dengan produk jualan lainnya sesuai dengan kaidah ekonomi mengeluarkan modal sekecil-kecilnya dan mendapat hasil sebesar-besarnya.
Jika dilihat dari sosiologi seni pola karirisme adalah salah satu sebab dari adanya kebutuhan konsumen mengkonsumsi karya seni dari seorang seniman, hal ini hampir sama saat seorang menjual mainan, jika pedagang satu melihat mainan lain yang dijual pedagang lainnya lebih laku di bandingkan dagangannya maka keesokan harinya pedagang itu akan membeli mainan serupa untuk dijual dengan harapan juga laku. Kemuadian sangat jelas terlihat pula pentingnya sebuah manajemen yang baik akan mengantarkan seniman menempati puncak dengan pencitraan yang diatur oleh dirinya sendiri maupun manajemennya.
Pada akhirnya adanya karirisme dalam dunia seni rupa merupakan sebuah fenomena seni rupa Indonesia sudah sangat dekat dengan faham kapital, sehingga karya seni rupa (meskipun tidak semuanya demikian) hampir menjadi tidak berbeda dengan produk jualan lainnya sesuai dengan kaidah ekonomi mengeluarkan modal sekecil-kecilnya dan mendapat hasil sebesar-besarnya.
*penulis adalah mahasiswa seni rupa ITB
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar disini, terima kasih