Manikmaya dan Filsafat Jawa Kuno


Oleh   : Muhammad Rahman Athian
“Ada adalah ketergantungan dan keterhubungan...” (Jacob Sumarjo)
Adanya “ada” justru menjadi “ada” karena dualitas, begitulah inti konsep filsafat jawa sesungguhnya, menurut kitab Manikmaya[1] bumi (jawa) berawal dari kekosongan lalu ada karena sebuah telur purba yang jatuh, jatuhnya telur dibarengi dengan sebuah bunyi seperti lonceng. Kemudian dari telur tersebut terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kulit telur yang kelak menjadi langit dan bumi, putih yang kelak menjadi siang dan malam serta kuning yang kemudian menjadi dewa penguasa. Inti dari konsep filsafat jawa di atas ada dua, yaitu metafisika jawa berfikir berawal dari satu lalu terpecah menjadi banyak dan setiap filsafat jawa mengenal hanya dua lawan kata(dualitas), misal saja kalau tidak hitam berarti putih, jika tidak benar berarti salah dll. Dari filsafat jawa tersebut lahirlah banyak kesenian seperti, ukiran, tarian, patung dan lain sebagainya. Filsafat ini pulalah yang menjadikan sajak filsafah atau lebih dikenal sebagai peribahasa menjadi lebih mengena untuk diperbincangkan sebagai sebuah nasehat.

Agustian adalah seorang kawan saya, Ia lahir dan besar di Yogyakarta itulah yang menjadikannya sangat dekat dengan budaya Jawa.  Nampaknya hal ini juga terlihat pada karya-karyanya yang sangat simbolis dan mengangkat filsafat kejawaan (kejawen) yang dalam hal ini adalah serangkaian karya T.A nya yang keseluruhan tergambar kartunal dan berwarna cerah. MENARIK! Karya yang ditampilkan Agustian tidak lain adalah bagaimana cara sesepuh jawa dalam berfilsafat, Saya sengaja menyebutnya sebagai filsafat karena peribahasa ini tak lekang dimakan jaman sebagaimana konsep aristoteles dan plato yang juga masih terpakai hingga saat ini, hal inilah bagaimana mereka (filsuf jawa) meninjau dan membahasakan keadaan melalui filsafat untuk kemudian Agustian mengubahnya ke dalam bentuk visual yang berwarna warni.

Seni : Cara Berfilsafat Sekaligus Bercanda

Memindai sebuah peribahasa ke dalam lukisan memang cukup menarik, proses ini dilakukannya dengan mendalami apa itu peribahasa, asal muasal kenapa peribahasa tersebut ada, lalu mengimplementasikan pada kehidupan saat ini, dan memvisualkannya. Dalam pamerannya ini Agus banyak mengangkat realisme sosial di masyarakat, dari pemerintah, kritik sosial masyarakat dan sebagai otokritik dirinya sendiri. Ndas gundul dikepeti dan Emban Cindhe Emban Ciladan merupakan ungkapan atau sindiran terhadap pemerintahan sekarang, (Kepala Gundul yang dikipasi) merupakan pemvisualan agustian terhadap bagaimana berlakunya sebuah filsafat yang diartikan sudah sejuk di tambah kipas pula, hal tersebut merupakan sebuah ungkapan yang menggambarkan sebuah kondisi yang nyaman namun masih menginginkan kondisi yang lebih nyaman. Sedangkan emban cindhe emban cilandan divisualkan seorang yang sedang tidur dan melihat seorang lainnya sedang kesusahan, itu menyimbolkan seorang yang berkuasa yang mebedakan kaum yang dipimpinnya, cenderung acuh dan memikirnkan dirinya sendiri. Seperti halnya falsafah jawa dimana sang hyang tunggal membedakan perlakuan kepada manik (bathara guru) dan ismaya (semar) yang dikisahkan semar merasa tidak adil dan menganggap sang hyang tunggal tidak objektif. Agustian menyampaikan peribahasa ini dengan kartunal, gayanya yang ceplas-ceplos sangat terlihat sekali dan memudahkan apresiator mendapatkan pesan di dalamnya.
Karya berjudul : Emban Cindhe Emban Ciladan

ukuran 110 x 110 cm dan 30x30cm
bahan dan media : akrilik pada kanvas
tahun 2012


Karya berjudul Ndas Gundul Dikepeti
ukuran 100 x 140 cm
bahan dan media : akrilik pada kanvas
tahun 2012

Dudu Sanak Dudu Kadang, Yen Mati Melu Kelangan dan ngono yo ngono ning ojo ngono, merupakan cerminan dualisme paradoks, anak bukan, saudarapun bukan namun saat suatu musibah datang maka akan dirasakan bersama, kata-kata tersebut sangat berlawanan, namun kenyataannya terjadi di Jawa, kerukunan ini sangat mencerminkan moral masyarakat Jawa warna yang terang dan objek yang cukup banyak membuat karya ini terlihat lebih ramai daripada yang lain,  saya melihat Agustian memvisualkan semangat persaudaraan di Jawa dengan visual erah, ramai dan ceria. Lalu Ngono yo ngono ning ojo ngono, adalah cerminan paradoksal masyarakat Jawa, membolehkan sesuatu dengan terpaksa namun kemudian mengatakan untuk tidak berlebihan, kalimat ini terlihat sangat kontras dan berkesan tidak tegas dalam mengkritik, namun begitulah Jawa sopan dan sangat menjaga perasaan orang lain yang di kritik.
Karya berjudul : Dudu Sanak Dudu Kadang, Yen Mati Melu Kelangan
ukuran 190 x 140 cm
bahan dan media : akrilik pada kanvas
tahun 2012
karya berjudul :Ngono Yo Ngono, Ning Ojo Ngono
ukuran 140 x 100 cm
bahan dan media : akrilik pada kanvas
tahun 2012
Berfilsafat melalui pembanding adalah salah satu hal yang disukai masyarakat jawa, simbol-simbol dibuat sedemikian rupa untuk lebih memperhalus kata namun maksud pemikiran bisa tersampaikan, misal saja keramaian digambarkan pasar, kekuatan digambarkan macan dll. Kali ilang Kedhunge, Pasar Ilang kumandhange lan wong wadon ilang wirange, merupakan contoh kegemaran masyarakat jawa mensimbolkan satu dengan yang lain. arti sungai hilang pumpunan airnya, pasar hilang gaung atau gemanya, wanita hilang rasa malunya merupakan sebuah ungkapan yang di cocokkan antara kondisi satu dengan yang lain saat sungai hilang airnya, pasar hilang gema keramaiannya maka wanita yang tidak punya malu akan hilang juga harga dirinya. Perumpaan itu dibuat Agustian dengan visual wanita sedang merokok memakai pakaian yang tidak sopan (menurut adat Jawa) dengan tekstur pada backgroundnya. Lalu pada karya kekudhung walulang macan merupakan bahasa Jawa dari berkerudung kulit macan, macan yang digambarkan kuat membuat siapapun yang memakai “lulang” atau kulitnya sebagai pakaian maka dia akan dicap sebagai pemberan, hal ini juga di visualkan secara menarik oleh Agustian dengan warna cerah dan beberapa objeknya digambarkan lebih detail dari yang lainnya.
Karya berjudul : Kali Ilang Kedhunge, Pasar Ilang Kumandhange, Wong Wadon Ilang Wirange
Ukuran 70  x 110 cm
bahan dan media : akrilik pada kanvas
tahun 2012

Karya berjudul : Kekudhung Walulang Macan
ukuran 70 x 110 cm
bahan dan media : akrilik pada kanvas
tahun 2012
 Akhirnya kembali menyangkut filsatat Jawa tentang  hakikat “ada adalah ketergantungan dan keterhubungan” adanya lukisan Agustian merupakan suatu cerminan keadaan masyarakat Jawa yang saling ketergantungan satu sama lain dalam konteks bermasyarakat, ketergantungan ini di dasari oleh kebutuhan dasar manusia yaitu bersosial. Keterhubungan disini merupakan relasi sebab akibat dimana dalam karyanya Agustian menemukan adanya paribasa Jawa dengan nasehat, keterhubungan yang bersifat dualisme dan penggambaran simbol dengan konteks kekinian. Pameran ini membuktikan bahwa mengangkat suatu yang bersifat lokal bukan berarti harus terlihat klenik, kelokalan juga bisa dibangun dengan riset dari sumber terpercaya dan pembuatan karya yang secara visual menarik, segar dan dalam konteks kekinian sehingga apapun itu, entah berfilsafat atau ber”paribasan” dapat diterima dengan mudah oleh khalayak.
*Penulis adalah mahasiswa Seni Rupa di Bandung



[1] salah satu kitab Jawa Kuno yang mengungkap tentang keberadaan Manik (Bathara Guru), Maya (Semar) dan tempat dimana mereka ada.

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar disini, terima kasih

 

Total Pageviews

Translate