Raw Bunny dan Konflik Subjektifitas Konsumerisme


Oleh : Muhammad Rahman Athian*
Pagi itu saya terduduk di “smokingarea” yang biasa saya tempati saat datang ke kampus, sembari menghembuskan satu dua hembusan yang hangat selagi banyak mahasiswa muda berjalan lalu lalang. Nomas (seniman yang juga kenalan saya) mengagetkan saya dengan menyalami, sekedar basa basi awal kami bertegur-sapa ternyata hari itu adalah ujian tugas akhirnya, tentusaja dengan tergesa lekas dia meninggalkan saya “bentar gue ke ruang ujian dulu” tukasnya. Sekitar sepuluh menit kemudian ia meminta bantuan saya untuk mengangkat meja ujian dan meletakkannya di studio s2 seni rupa ITB.
Begitu masuk ruangan, Jreng!!! Sebuah tatanan kepala kelinci dengan bulu yang masih halus, didisplay dengan rentetan panjang lebar sekitar 3x3meter. Dalam susunan tersebut terlihat susunan kepala kelinci dengan warna yang diatur sesuai gradasi. Pada setiap kepala ia kemas dengan sebuah kotak yang dibumbui dengan brand yang bertuliskan “Raw Bunny”. Melihat lebih detail lagi, lekukan otot-otot pada telinga kelinci yang sudah mengkilat (mungkin akibat bahan kimia tertentu) dan mata pada kellinci yang bolong. Karena menggunakan lampu di setiap atas susunan mainannya ini detail dari tiap kepala terlihat sangat menonjol.

Susunan display Raw Bunny
Sumber : Athian

Sebuah Komparasi Berfikir : A Study in Scarlet
Akhirnya, Nomas bertanya sembari sesekali ia mengelus bulu kelincinya “Menurut lo, kesan apa yang pertama kali timbul?” tanpa berbicara panjang lebar saya hanya menjawab “merinding gue...” dia nampak cekikikan dan menunggu reaksi yang lebih mendalam tentang karyanya. “Gue ngeliat ada semacam efek pemanfaatan visual menggemaskan kelinci untuk diolah menjadi hal yang mempresepsikan konsep lainnya, gimana engga?! Lo bikin seakan kelinci itu kaya sebuah instalasi susunan bangkai suatu yang biasanya di elus, di peluk dan di ajak bermain?!” tukas saya, kemudia di jawab Nomas sembari bertutur tentang pameran sebelumnya di IAA Galeri Nasional, dikatakan karyanya banyak menuai konflik, seperti Nomas dianggap kelainan jiwa, kejam, psycho dll, atau bahkan banyak yang melihatnya sebagai suatu yang lucu, menarik dan menghibur. Tidak lama bagi saya untuk menyadari bahwa karya ini berkutat dengan masalah konsumerisme.
Dari pernyataan Nomas saya sempat teringat pada sebuah scene dalam novel karangan Sir Arthur Conan Doyle yang berjudul Sherlock Holmes dengan tema “A Study in Scarlet” yang baru sempat saya baca beberapa waktu yang lalu dan membandingkannya dengan kasus karya Raw Bunnys. Dalam Novel ini Arthur menjadi tokoh sekunder sudut pandang pertama, Holmes dikisahkan adalah seorang yang memiliki pekerjaan misterius yang berhubungan dengan menguliti mayat, sesekali memukuli mayat, berhubungan dan bersentuhan langsung dengan ilmu Biologi, Geologi dan Kimia serta tahu segala gosip baru mengenai dunia kriminal. Singkatnya Arthur mengamati Holmes, Holmes adalah seorang yang dengan mudah tahu profesi seseorang hanya dengan melihatnya sekali hanya dengan hitungan detik. Pada satu kasus  Holmes melihat seorang pengantar surat dan  ia mengatakan bahwa ia adalah mantan sersan, pendapatnya dicaci oleh Arthur. Tak lama suara ketukan pintu terdengar dan ternyata itu adalah pengantar surat tadi, tanpa berbasa basi Arthur menanyakan pekerjaannya dan dijawabnya “saya kurir” tegas pengantar surat, kemudian Arthur mengusik dengan pertanyaan lanjutan “pekerjaan sebelumnya?” dijawabnya “saya pensiunan sersan, di salah satu markas elit di skotlandia” wow! Betapa terkejutnya ternyata jawaban tersebut benar. Ternyata Holmes menggunakan ilmu gestur dan tanda, betapa tidak seorang yang sudah tua tetap memiliki tubuh atletis, dengan tatto jangkar berwarna biru tua di lengan kanan, dan berjalan tegap meski sudah tua.

Raw Bunny tampak samping
Sumber : Athian

Seni, Medium dan Psikologis
Saya kembali pada kasus karya Nomas, dari segi psikologis Nomas bukan tipikal manusia yang kejam menurut saya, terbukti dengan caranya meminta tolong dengan halus saat menyusun bangku, sehat? tentu saja, karena yang saya tahu dia juga aktif bermain futsal. Pikiran saya seperti posisi Arthur saat itu, saya mencoba menelisik mengapa Nomas menggunakan medium kepala kelinci? adakah pernyataan yang dilontarkan beberapa apresiator di IAA benar?
Karya instalasinya ini sebuah lampiasan amarah darinya? Bukankah terlalu naif jika kita menganggap semua karya seni merefleksikan kondisi jiwa seseorang di jaman kontemporer ini? Kemudian keluguan saya menuntun saya untuk menanyakan “mengapa harus menggunakan kelinci untuk menegaskan konsumerisme? mengapa tidak menggunakan boneka asli?” Nomas menjawab menggunakan sebuah kalimat kunci “kesenangan itu relatif dan kesedihan  itu menyeluruh” lanjutnya mencontohkan seorang musuh yang mengalami kemenangan akan membuat kita merasa kurang nyaman, namun saat seorang musuh mengalami cedera atau kecelakaan maka kita tetap merasa iba meski dari hati terdalam.

Raw Bunny nampak depan
Sumber : Athian

Tepat! Anda pembaca mungkin sudah mulai tergiring dengan maksud Nomas menghadirkan kepala kelinci, Nomas memanfaatkan sifat “ke-tidaktega-an” manusia untuk menggiring apresiator merasakan sensasi yang dibuatnya dengan menggunakan kepala kelinci, lain halnya jika ia hanya menggunakan boneka tanpa memanfaatkan sensasi “kesedihan yang menyeluruh tadi” yang kemudian menciptakan efek entah itu merinding atau malah menyukai karya tersebut. Digiringnya apresiator pada sebuah kondisi yang sangat subjektif ini menjelaskan kepada saya perbedaan seseorang dalam melihat konsumerisme, dimana sebuah benda bisa menjadi konsumtif bagi sebagian orang namun tidak bagi orang yang lain.
Di akhir percakapan saya masih sedikit terganggu dengan pernyataan beberapa apresiator IAA beberapa bulan lalu yang menyerang Nomas dengan pernyataan yang tidak punya hati dll, menurut saya keberadaan karya Nomas ini masih jauh lebih terpuji dibanding dengan seorang yang hanya memanfaatkan kulit buaya sebagai sabuk atau jaketnya, setidaknya melalui karya ini banyak apresiator tersadarkan dengan “subjektifitas” konsumerisme yang bisa sangat kontras maupun sangat cocok dengan kondisi sosial masyarakat di tempat tersebut. Namun akhirnya ia mengatakan bahwa sebenarnya kepala kelinci tersebut merupakan limbah dari restoran sate kelinci yang kemudian ia manfaatkan sebagai karya seni. Lebih lanjut, pola berkesenian ini juga mengingatkan saya dengan Damien Hirst yang juga bereksperimen dengan bangkai-bangkai hewan, yang kemudian ia kondisikan menggunakan bahan kimia tertentu lalu di angkatnya menjadi sebuah karya seni yang bahkan dibeli dengan harga tinggi oleh Charles Saatchi.
Mengenai keberhasilan karya Nomas, saya hanya bisa menjadi Arthur dalam seri Sherlock Holmes, karena pada kasus ini hanya bisa menceritakan penglihatan dan analisa saya dilihat dari kupasan-kupasan dalam Raw Bunny berupa wawancara langsung dengan seniman dengan berpura-pura berperan menjadi detektif kacangan dalam menelisik karya seni. Namun yang bisa saya simpulkan dari berbaris kata di atas adalah, pertama tidak semua seniman berkarya berdasarkan emosi (hati) saja, seringkali seniman berkarya juga didasari penalaran pemikiran mengenai suatu kejadian dan bahkan mengabaikan masalah rasa (hati), kedua seniman pun manusia yang juga memiliki sisi subjektifitas dalam memilih sebuah medium, yang akhirnya juga akan menggiring apresiator bahwa selera pun subjektif, ketiga adalah seni memang selalu berhubungan dengan kesepakatan, didasari oleh kesepakatan medan sosial seni di wilayah tersebut, namun jika medan sosial itu hanya disepakati oleh kolektor, museum, kurator, kritikus, akademisi, dan perupa yang belum tentu jumlahnya banyak dan tidak jarang berpandangan subjektif, lagi-lagi seni rupa hanya akan menjebak pada persoalan subjektif. Akhirnya (menurut saya) seni memang  harus ditentukan “kejelasannya” bukan hanya menunggu kesepakatan untuk diakui, agar benar ada sebuah kekuatan untuk menentukan seni yang benar-benar objektif.

*) Penulis adalah kritikus dan kurator seni rupa 

1 comments:

  1. kak, boleh saya tanya..
    pak Nomas menyajikan karya tersebut, timbal balik atau impact ke audience apa ya? saya masih belum menemui titik temu nya.
    dari konsep yang dia ambil, terkait "konsumerisme" nya atau yg "kesenangan yg relatif.. dan kesediham yg menyeluruh"

    ReplyDelete

Silakan berkomentar disini, terima kasih

 

Total Pageviews

Translate