ORBIT : SATU SISI MEMANDANG GERAKAN SENI RUPA

Oleh : Muhammad Rahman Athian S.Pd., M.A *)

Satu : Prolog
Seorang seniman seringkali dalam proses produksi karyanya tergantung pada kesepakatan yang dia kuatkan dari orang lain pada dirinya sendiri, kesepakatan tersebut bahkan ia coba cari justru sebelum karya tersebut jadi. Misalkan seorang perupa yang ingin melukis, maka seringkali yang dia lakukan adalah mencoba menanyakan model visual yang bagaimana yang akan dilukisnya, atau setidaknya menanyakan bagaimana lukisan tersebut saat masih dalam proses pembuatan. Ternyata hal ini merupakan kondisi psikologis manusia yang menginginkan diakui dalam sebuah perjalanan estetisnya, atau perasaan takut jika tidak diakui, atau bahkan sebuah tindakan preventif jika saja tidak ada orang yang menyukinya.
Menurut Howard. S Becker, seni adalah sebuah aktivitas kolektif, karena kesepakatan merupakan sebuah persetujuan. Maksudnya adalah jika sebuah karya itu disepakati bagus, maka itulah penilaian ke-bagus-an sebuah karya seni. Katakanlah kita menggambar sebuah pohon, seniman A menggunakan teknik realis sedangkan seniman B menggunakan teknik ikonis, maka yang terjadi adalah karya itu sama-sama dapat tersampaikan dengan baik karena apresiator sudah mengenal dan menyepakati bahwa bentuk tersebut adalah pohon. Terlepas dari aturan selera yang relatif, pembacaan simbol dan visual karya seni jelas merupakan kondisi saling menyepakati.
Saya melihat pameran Orbit ini memiliki intensi yang hampir sama dengan teori kesepakatan di atas. Seniman-senimannya membentuk sebuah gerakan dan masing-masing meminta perhatian untuk diakui pada pameran Re-Post sebelumnya. Menariknya kegiatan utuk menyita pengakuan ini dilakukan dengan kolektif menggunakan presepsi setiap seniman yang berbeda dan pendapat orang-orang yang berbeda, tentunya akan menghasilkan karya yang berbeda pula. Maka benar kata Djuli Djati P bahwa kini Artworld yang lebih spesifik pada pelaku seni rupa kontemporer pada kelas tertentu telah bergeser pada fenomena Art-Ekosistem yang merambah pada artisan, tukang pigura, hobiis, masyarakat umum dan lain sebagainya. Tentunya, akan menghasilkan presepsi dan kreativitas yang lebih besar.
Orbit merupakan gerak bumi yang memutar, tentu kita tahu pelajaran geografi tingkat SD ini, lalu apa hubungannya dengan pameran ini? Tentusaja, yang akan dibahas bukan fenomena alam tersebut, melainkan definisi orbit dari segi social. Jika kita coba menterjemahkan pengertian “mengorbitkan” seringkali didefinisikan sebuah kegiatan dalam mengangkat sesuatu (yang berhubungan dengan karir dan ke-tenar-an) agar mencapai sebuah puncak. kiasan mencuat naik tentang nama atau aktivitas sehingga cepat terkenal atau memuncak. Tulisan saya ini akan mencoba mendefinisikan perihal pameran Orbit ini dengan memberikan orientasi wacana yang diusung seniman Orbit berdasarkan pendekatan sosialnya.



Dua : Seni dan Fungsi Sosial
Definisi sebuah karya seni secara social mengalami berbagai artian hingga seakan tidak ada definisi baku tentang “apa itu seni?”. Selalu serba salah bagi kami penggiat seni menjelaskan kepada apresiator seni (terutama yang awam) tentang hakikat dan entitas seni sebenarnya. Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah tentang fungsi seni, sampai ada beberapa kasus yang mencuat tentang “untuk apa seni itu?”. Mengapa demikian?
Pertama perlu difahami bahwa seni bukanlah sebuah disiplin ilmu pengetahuan (science). Hal ini menyebabkan seni tidak memiliki patokn tertentu, seperti fisika, matematika, bahasa, seni berkaitan dengan budaya, selera, perasaan dan bahkan ekonomi. Namun seni bukanlah budaya, selera, perasaan atau ekonomi, seni adalah seni itu sendiri. Sedikit berbelit memang jika dikatakan demikian, mungkin akan lebih mengena jika saya membagi pemahaman seni atas beberapa sub bagian menurut tujuan dan hakikatnya.
Lois Fitchner dalam bukunya “Understanding Art” mengungkapkan bahwa salah satu hakikat seni adalah untuk menciptakan keindahan,
One art form need not be seen as intrinsically superior to the other; in these works, quite simply, beauty is in the eye of the society's beholder.
Jadi mudahnya keindahan itu tidak baku, keindahan adalah sebuah konsep relatif yang berbeda dimana sebuah masyakat selalu memiliki perbedaan mengenai keindahan dalam seni. Ragil Adi Winata sangat memahami konsep seni sebagai keindahan ini, dan membenarkannya dalam karyanya yang berjudul Hiperrealitas, dia mengatakan bahwa sebuah karya seni massa seringkali menggunakan visual yang digambarkan ideal. Misal seorang yang memakai jas, dengan postur dan rupa yang ideal. Akhirnya yang terjadi masyarakat memahami konsep ideal adalah apa yang tertanam pada seni massa tersebut.

Berlawanan dengan konsep seni sebagai pengungkap keindahan, seni juga merupakan subjek dekorasi. Seni akhirnya menjadi berlawanan arah dari keindahan konseptual yang hakiki dan berubah menjadi objek aplikatif saja. Meskipun demikian, tetaplah seni bersifat relatif, pada masyarakat tertentu memandang hal tersebut indah dan masyarakat yang lain tidak. Misal saja, seorang wanita Kenya menggunakan ornamen-ornamen manik dan rambut yang cepak dianggap indah di Kenya dan dianggap berbeda di Indonesia.
Inilah yang menjadi konflik dalam pemikiran Aeliya Novita dalam karyanya , masyarakat Indonesia masih menafsirkan batik hanya sebagai kerajinan, padahal sebenarnya batik juga memiliki sifat relative, tergantung bagaimana ia digambarkan dan dipresentasikan, batik akan mengalami perubahan dan dapat dimaknai secara konseptual.
Seni dalam konsepsi sosial salah satunya berfungsi sebagai “tanda” untuk mengungkap kebenaran psikologis  dalam hal ini diterapkan secara langsung oleh Nahyu. Sebagai seniman penyuka kucing Nahyu menggambarkan kucing sebagai representasi dirinya dan orang-orang di sekitarnya untuk me-metafora-kan kehidupannya dalam sebuah karya seni. Tidak berbeda dengan karyanya yang berjudul Friends ini Nahyu mengungkapkan isi hatinya dan membekukan momen bersama teman-temannya menggunakan metafora kucing sebagai representasi dirinya.
Selain Nahyu, Akbar juga berkarya sebagai bentuk aktualisasi dirinya, Akbar membuat karya berjudul “I Know I Can(s)” yang merupakan sebuah parody dari bahasa Inggris yang bisa juga diartikan sebagai “Saya Tahu, Saya Banyak Bisa” atau “Saya Tahu, Saya adalah Kaleng” dua kalimat yang menggambarkan dua klausa yang berbeda arti namun keduanya menggambarkan eksplorasi Akbar sebagai seorang seniman dengan menggunakan media kaleng karena dia adalah seorang “bomber” atau street artist dengan media air brush.
Husni sebagai seniman yang terkenal dengan lukisan potret dan kepiawaiannya melukiskan karya secara realis mencoba mengungkapkan isi hatinya dengan judul Voice of a silent scream yang tidak lain adalah sebuah gambaran kecemasan dan kebimbangan dalam dirinya dan bagaimana dia mengatasinya. “…Seringkali kita berpikir bahwa pikiran-pikiran negatif membuat kita terbayang ilusi cemas dan ketakutan. Ternyata itu salah, pikiran itu sendiri tidak peduli seberapa buruk atau negatifnya, tidak dapat membuat kita merasa tertekan dan anxious. Kita baru terpengaruh jika kita tunduk mempercayainya. Kita bahkan terpengaruh semakin parah jika berusaha menentang dan mematahkan logikanya.” Tutur Husni Mubarok.
Selain itu, seni yang dipamerkan dapat juga menjadi sebuah objek untuk mengabadikan sesuatu. Dalam kasus ini Danni Febriana membekukan wajah Song Hye Kyo dalam karyanya yang berjudul face identity. Tujuannya adalah sebagai pengabadian atas kerjasama Indonesia dengan Korea Selatan yang membaik justru membuat tahun-tahun belakangan ini Indonesia dilanda “deman Korea Selatan”. “…bahkan fashion style ala artis korea adalah bukti kerjasama indonesia dan korea selatan yang telah menjadi trend dan kerap dikonsumsi oleh masyarakat indonesia. K pop style sebagai budaya baru yang muncul dipermukaan seakan menghipnotis publik untuk turut berinteraksi di dalamnya”, ungkapnya.
Masih dalam pembahasan yang sama Peri Sonata membicarakan kekerasan pada anak yang ia bekukan pada sebuah lukisan berjudul “Spirit of Child”. Upayanya untuk menghadirkan momen ini juga sebagai kritik sosial terhadap manusia dewasa untuk lebih memerhatikan hak-hak anak.
Seni berikutnya memiliki fungsi sebagai pengungkap pengalaman relijius seseorang. Dalam karya Fadkhul Baqi misalnya, dia mencoba memberikan gambaran tentang kehidupan. Jelas ini adalah sebuah penggambaran yang relijius, jika dikaitkan dengan karya instalasinya ini, relijiusitas yang ditampilkan merupakan penggambaran inti bahagia dan tidak digambarkan melalui status yang “di atas” dan “di bawah”. “…Dalam karya “happiness or not?” saya menampilkan dua penggambaran, bahagia atau tidak bahagia manusia hidup di dunia, pada saat dia di posisi naik daun atau kelam. Di kedua sisi karya menggambarkan perbedaannya antar sisi satu dengan sisi satunya.” Ungkap Baqi.

Riki mendefinisikan Warhol dengan kaleng-kaleng Champbels-nya sebagai sebuah wacana yang tunggal tentang Andy Warhol. Saya mengenal Riki adalah sebagai pelukis yang “centil” karena sering melukiskan wajahnya sendiri, dengan ekspresi yang dibuat “manis” tanpa diberikan sign atau symbol tertentu untuk menggiring penonton melihat karya seni, bukan melihat kelihaian seniman dalam melukis. Karya ini menunjukkan kedewasaannya dalam berkesenian belakangan ini. Terlepas dari itu Riki menggambarkan benda tertentu dapat mengingatkan kita tentang seseorang, misal “kapal dengan Nuh” atau “kaleng-kaleng Champbels dengan Warhol”.
Pujo Asmanto salah satu seniman yang memandang seni begitu sakral sekaligus puitis. Dalam karyanya yang berjudul ECCEDENTESIAST Pujo mengungkapkan sebenarnya terdapat sebuah masa dimana manusia ingin mengungkapkan kesedihan dan kejanggalan hatinya namun di satu sisi lain dia memperhatikan fenomena tabu jika mengatakan itu semua dalam sebuah keramaian. Permasalahan berikutnya orang sekitar belum tentu memahami apa yang dirasakan. Saya tidak mengklaim bahwa ini adalah apa yang ia rasakan, namun ini adalah sebuah pandangannya dalam berfikir. Hal ini mewakili pemahama fungsi seni berikutnya yaitu sebuah perekam pengalaman komunal.
Agnes Zakaria menuturkan hal sepadan dengan menggambarkan pemahaman kolektif tentang manusia dan interaksinya terhadap beberapa peran yang menjadikannya seorang manusia. Tuhan, Malaikat dan kedua orang tua. Dalam hal ini Agnes sangat memperlihatkan sisi hubungan antara orang tua dan anak yang kemudian ia gambarkan agar apresiator mendapatkan pengalaman yang sama.
Seni yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran sosial digambarkan oleh Made Iskandar dengan judul  “Bersatu Kita Teguh, Lama-Lama Menjadi Bukit” dengan maksud agar setiap apresiator dapat memahami entitas hidup bersama sebagai sebuah satu kesatuan untuk mendapatkan sesuatu yang besar. Hal ini juga dilakukan oleh Agus Miki, karyanya merupakan sebuah ungkapa untuk merespon keadaan alam yang sangat rentan rusak. Miki mengungkapkan : “Melalui karya “pecah belah/fragile”  saya mencoba mengungkapan kerusakan lingkungan (alam) yang seringkali terjadi akibat “perspektif kapital” yang semakin membayangi hidup manusia modern. Perspektif kapital seringkali mengabaikan keseimbangan alam demi tercapainya suatu tujuan-tujuannya tertentu.  Karya “pecah belah/fregile”merupakan karya ciptaan saya beberapa tahun yang lalu namun masih terasa relevan untuk dipresentasikan waktu sekarang, setelah meninjau kejadian (realitas sosial) yang terjadi akhir-akhir ini.”
Linggar Panengah mencoba memperlihatkan kepada apresiator tentang apa itu hakikat kebenaran, menurutnya ada sebuah konflik dimana sebuah kebenaran hanya bersumber dari kesepakatan. Hal inilah yang kemudian diangkatnya sebagai sebuah karya agar menjadi seni yang mampu memberi refleksi pada sebuah kultur mengenai hakikat kebenaran.

Tiga : Jadi Apa Itu Seni?
Dari fungsi-fungsi seni di atas, seni secara artian sosial sudah tidak terlalu absurd untuk dijelaskan kepada masyarakat. Seni adalah wujud persuasive seorang seniman kepada apresiator. Perbedaannya seniman memiliki cara pandang tersendiri terhadap dunia dan apresiator diberikan hak untuk meng-amini atau menolak pemikiran tersebut.
Dalam pameran Orbit ini, memang bertujuan untuk mengorbitkan seniman pada konteks masyarakat Semarang bahkan mungkin Indonesia. Namun menurut saya terlalu naif jika membungkus kegiatan pameran pada sebuah kota yang belum terlalu melek tentang seni, tanpa memberikan konsepsi prolog dalam pameran ini. Tentang apa itu seni? Kerangka yang lebih jelas dalam sebuah pameran harus lebih dikedepankan.
Pameran bukan tentang seberapa banyak orang yang mengapresiasi, namun pameran adalah tentang seberapa dalam penonton memahami isi atau konten dalam pameran tersebut. Jika memang Orbit ini berarti “mengorbitkan” maka seharusnya seniman mencapai puncaknya dengan menggunakan visi yang jelas kepada apresiatornya. Bukan hanya agar terlihat “dalam” atau “puitis” atau bahkan piawai dalam memanfaatkan media (skill) namun lebih kepada entitas berkesenian yang menggiring publik memahami kontennya satu persatu. Atau setidaknya publik menikmati karya tersebut dan terbawa pada kehidupannya sehari-hari.
Mungkin, orbit ini seharusnya menjadi sebuah putaran yang terus bergerak. Bergerak disini semoga diartikan sebuah gerakan yang berlanjut terus menerus dengan pergerakan positif dan tidak monoton namun tetap stabil.

Penulis adalah kurator pameran*)

0 comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar disini, terima kasih

 

Total Pageviews

Translate