oleh : Muhammad Rahman Athian
Sebuah
rangkaian pameran yang secara seremonial dibuka pada tanggal 22 Oktober 2013 di Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) mengundang
banyak perhatian publik seni di Bandung, acara yang merupakan sarana eksplorasi
seniman muda Bandung ini juga turut dirangkai dengan menggandeng tujuh Galeri
di Bandung lainnya dan membaginya dalam dua kategori galeri masin-masing untuk
pameran kelompok dan enam galeri untuk pameran tunggal. Dari kesemua opsi
rangkaian pameran, penulis merasa tertarik membahas pameran yang
diselenggarakan di Selasar Sunaryo Art Space, karena pameran ini memiliki
multivisi keragaman visual jika dilihat dari banyaknya seniman yang
berpartisipasi, dari itu, menurut penulis cukup menarik untuk dikupas kedalaman
lapisannya menggunakan kinerja kritik seni yaitu deskripsi, analisis formal
interpretasi dan kemudian evaluasi.
1. Multi Visual dalam Ikatan “Multi Polar”
Dari
ketigabelas seniman hasil seleksi panitia Bandung Contemporary tersaring lima
belas keragaman karya yang dibungkus dalam sebuah pameran yang ditajuki oleh kurator
Sally Texania sebagai “Multi Polar”, masing – masing dibuat oleh : Adytama
Pranada, Ahmad Nursalim, Citra Kemala, Edward Bonaparte, Edwin Pradipta, Irfan
Hendrian, Jodi Setiawan, Maharani mancanegara, Ratu Rizkitasari Saraswati, Risa
Astrini, Sutra Djarot, Zaenal Abidin, dan Zusfa Roihan.
Polar
dalam kuratorial Sally diartikan sebuah pusat, yang membicarakan ketiadaan
polar yang memusat, multi polar diartikan sebagai satu gagasan penyatuan dari
berbagai kutub kekaryaan seniman yang berkarya ditengah polar seni yang
terpecah dan terus mengalami perubahan.
Sebelum
mendeskripsikan karya terlebih dahulu penulis mendeskripsikan ruang Bale
Tonggoh, ruang ini terbagi dalam tiga sekat ruangan yang masing-masing sekat
hanya terhalang satu barrier yang
terletak ditengah, kesatuan ruangan besar ini tersekat ditengah, dan kemudian
dibagi menjadi tiga ruangan yang dalam konteks ini penulis sebut dengan istilah
“siklus1, 2 dan 3”. Akses yang penulis ambil dari pintu kiri lalu melihat dalam
siklus 1 memutar ke pintu kiri mengambil siklus 2 dan akhirnya masuk kedalam
siklus ketiga.
Pameran
ini dimulai dari pintu kiri Bale Tonggoh SSAS, pada pintu masuk nampak sebuah
karya dengan kain hitam legam, yang di dalamnya terdapat karya Edward Bonaparte
dengan judul “Scoptoma” dengan teknik melukis triptik yang dibuat pada tahun
2013 dengan menggunakan tambahan berupa sound nyanyian opera dengan suara-suara
tinggi. Disana nampak gambar manusia yang memakai topeng plague, topeng yang
menyerupai anjing pada bagian atas terlihat figur sedang menunjuk ke bawah,
lalu pada bagian terbawah Edward Bonaparte menggambarkan rubah dengan karya
yang berukuran 300 x 180cm ini Edward membaginya dalam tiga sekmen.
nampak
karya Maharani Mancanagara yang berjudul Politieke Vorming, yang berukuran 30 x
35 x 23cm (6 buah) media campuran yang di kemas dalam sebuah kotak berbahan
kayu. Karya yang dibuat pada tahun 2013 ini terdiri dari 6 kotak. Kotak pertama
berisi tabung yang didalamnya terdapat bubuk berwarna hitam, kuning, batang tumbuhan,
biji tumbuhan, potongan ranting dan benda pipih berlubang yang tersambung
dengan sejenis tali tambang. Kotak kedua terdapat enam segmentasi yang terisi
hampir sama dengan benda dari kotak pertama, namun bedanya di kotak kedua
terdapat benda sejenis besi dengan bentuk memanjang vertikal, dan memiliki dua
gantungan di kanan dan kirinya. Kotak ketiga terdapat tumpukan daun kering yang
dibubuhi beberapa manikin kecil sedang membawa senapan. Kotak keempat terlihat
dua bagian yang berisi buku lawas bertuliskan budi dan buku arab. Kotak kelima
berisi benda menyerupai besi tajam yang menyeringai dari kotak atas maupun
bawah. Kotak keenam terdapat media organik yang di atasnya terletak besi jebakan
tikus.
Tidak
jauh dari sisi kanan karya Rani, terdapat dokumentasi performance art, buah
karya karya Ratu Rizkitasari Saraswati berupa performance video installation
menggunakan infokus, dengan tampilan komedi putar yang ditutup menggunakan kain
putih dalam visual tersebut banyak terdapat gerakan-gerakan pelan.
Berurutan
jarum jam di siklus 1, terdapat tiga buah karya yang memiliki konten tumpukan
segi empat, yang berwarna warni dan ditata sedemikian rupa. Karya yang berjudul
Devalution of Hierarchy ini berukuran 300 x 250cm berbahan acid free paper ini merupakan
tumpukan dari kotak kotak dengan warna yang disusun sedemikian rupa. Masih di
siklus 1, karya Sutra Djarot yang berdiameter 1 meter berada di urutan
berikutnya, menggunakan medium berupa tinta kopi dan benang di atas kanvas dengan
warna hitam putih. Terakhir di siklus 1 terdapat karya berjudul “No Target, No
Protection, Just Wounded” buah karya Zuswa Raihan menggunakan media cat minyak
pada kanvas yang dibuat pada tahun 2011. Dalam karya ini terlihat, subjek
berupa pistol, sesuatu yang menyeringai dari bawah berwarna putih abu-abu,
dibagian kiri terdapat papan incaran berbentuk replika setengah manusia dan
papan berwarna kuning biru dan helm berwarna hijau tua, subjek tersebut
dikelilingi visual yang blur, lalu pada bagian atas dan bawah sebelah papan
incar berbentuk manusia terdapat visual dengan gambar yang lebih jelas (tidak
blur) dan dilingkari retakan retakan.
Karya
yang memiliki ukuran 190 x 180 x 12 cm ini berbahan kayu pinus yang di drawing
dengan menggunakan charcoal dan dibuat pada tahun 2013 dengan judul Politike
Inichtingendienst terletak di sebelah kanan, tepat dibelakang sekat, Rani
menggunakan teknik drawing dan memotong figur manusia yang mengenakan seragam,
membawa tongkat, dua memakai topi satu memakai helm berkacamata, mengenakan
sabuk hitam dan sepatu setinggi lutut dengan teropong.
Siklus
kedua penulis disambut oleh karya Citra Kemala, dengan judul I Love You If You
Pretty berbahan media campuran pada papan kayu dan dibuat pada tahun 2013.
Citra menggambarkan dua manusia yang tidak digambarkan sepenuhnya sedang
bertemu mulut , pada karya kedua terlihat seseorang dengan bibir berwarna merah
tebal dan pipi kemerahan dengan gambar seekor binatang yang berwarna warni
dengan dasar putih. Warna yang mencolok digunakan Citra untuk menggambarkan
karyanya ini. Untuk seri yang kedua Citra mengusung judul “If I Were A Thing”
dengan ukuran 20 x 15cm sebanyak 8 bagian dengan bahan campuran pada papan
kayu. Terlihat blok putih di atas papan kayu yang disapukan dengan spontan dan
ekspresif, kemudian dibubuhkan mata, hidung dan bibir dengan berbagai ekspresi.
Ke kanan,
penulis melihat karya Adytama Prananda yang karyanya berjudul Visible
Discontinuity : Me(asuring)mory, dengan pendekatan fotografi instalatif yang di
susun dengan wadah tube yang berisi kapsul berwarna merah dan hitam di dekatnya
juga di display karya tengkorak berwarna hitam. Foto di display menggunakan
klip dan penjepit, dengan background hitam. Di samping kanannya terdapat
susunan plastik, dengan ujung karet berwarna merah yang banyak dipakai pada
plastik obat. Karya Zaenal Abidin berjudul Will to Power, berukuran 360 x 230cm
dengan medium kulit sapi, benang nylon dan tinta yang dibuatnya pada tahun
2013. Terlihat visual berupa susunan kulit berwarna yang dijahit kemudian di
bubuhi simbol, tulang manusia, pedang, dua gagak, dan permata. Dari sana
penulis mendengar suara “tik tok – tik tok” yang berulang, ternyata penulis
menemukan sumber suaranya, itu ternyata adalah bagian dari karya Jodi Setiawan
yang berjudul “temptation #1” dengan ukuran 150 x 120 x 80cm yang dibuat pada
tahun 2013. Terlihat sebuah pakaian, berwarna putih, yang memiliki motif
figuratif berwarna merah, dengan dasi berwarna kuning dengan motif figuratif
namun berwarna hitam, kemudian baju biru dengan motif figuratif berwarna
kuning. Dengan menggunakan penggantung jas, karya ini di display dengan ujung
bulatan yang mirip bulu dan terlihat pula gambar ikonik.
Siklus
ketiga penulis disuguhi tiga karya, di dekat pintu kiri terlihat karya Risa
Astrini yang berjudul Shine Bright Like A Damien terlihat berbentuk kubus
ketupat, terisi dengan visual octagon, dan bervolume berwarna hijau, ungu,
merah, kuning, dan kuning yang ditambahi dengan raut-raut biomorfis dari
campuran beberapa warna yang membaur, diberikannya cahaya pada sekitar kubus
ketupat menambah warna terlihat semakin berkilau.
Pada
bagian tengah terdapat karya yang dibuat menggunakan teknik 3d, karya tersebut
berjudul “Niet Mooi Indie Scenery” 110 x 200cm, 3: 00 dengan tambahan berupa
frame putih. Dalam gambar bergerak tersebut terlihat lukisan pemandangan gunung
di awal, lalu kemudian timbul api, dan membakan kayu dan lukisannya, menariknya
dalam lukisan ini kayu yang terbakar jatuh keluar dari frame, ditambah saat
melihat karya ini pengunjung dipersilahkan melihat menggunakan kacamata 3d.
Karya Ahmad Nursalim berjudul Motion Drawing : Interaction #5 160 x 100cm yang
dibuat pada tahun 2013 dengan pendekatan gambar bergerak. Dari gambar yang
terdiri dari warna hijau tua, sedang, dan muda, dengan tambahan warna oranye,
dan garis-garis yang kuat mengelilingi biomorfik yang kemudian bergerak secara
bersamaan dengan ritme tertentu.
Dari
deskripsi visual diatas terlihat tidak ada kesamaan visual dalam karya semua
seniman, namun dari perbedaan visual tersebut Sally mengaitkannya dalam wacana
Multi Polar yaitu karya seniman Bandung saat ini tidak berpusat pada satu gaya
dan satu kecenderungan.
2. Penyelarasan Gaya
Dalam
pameran ini, seluruh peserta adalah sosialita Bandung dan kebanyakan dari
almamater ITB baik itu alumni maupun masih mahasiswa. Latar belakang seniman
yang kebanyakan dari ITB menjadikan banyak karyanya yang mengeksplorasi medium,
karena ITB juga dikenal sebagai laboratorium barat, penulis menemukan seluruh
karya seniman menggunakan judul menggunakan bahasa Barat, baik itu bahasa
inggris maupun latin. Jika melihat pengklasifikasian medium dan gaya pada
pameran ini, secara langsung mungkin tidak ada pemisahan menurut genre visual
lukisan, penulis melihat adanya kesamaan antara karya Maharani “Polieteke
Vorming” dengan karya Adytama “Visible Discontinuity : Me(asuring)mory” secara
visual, Maharani menggunakan kotak yang diisi beraneka ragam, kotak itu sebagai
penyimpan, mengingat isinya adalah barang-barang yang bisa disimpan,
menimbulkan memoar juga disuguhkan dari karya Adytama dengan tampilan
kapsul-kapsul dalam tube yang disusun secara menarik, tengkorak berwarna hitam
dan kekuatan memorinya semakin terpampang pada foto yang yang dijepitkan pada dinding
juga plastik-plastik bekas obat yang di display bersamaan di bagian kanan.
Karya
yang berangkat dari visual klasik yang kemudian diolah penulis melihat adanya
kesamaan cara penyampaian antara Edward Bonaparte dan Eldwin, Edward
menggunakan idiom visual klasik untuk menggambarkan keagungan Tuhan yang ia
kondisikan menggunakan suara opera, lalu Eldwin juga menuturkan klasikisme yang
dibangun dari landasan pikiran mooi indie yang dibakar, keduanya berusaha keras
dalam mengajukan pikiran dengan menyertakan pengondisian untuk menciptakan
karya yang dramatis.
Afiguratif,
terlihat dalam karya Risa Astrini, Irfan, dan Ahmad ketiganya tidak menampilkan
figur, Irfan dan Ahmad hanya membubuhkan satuan bidang datar, menyelaraskan
kesemuanya dengan cara menumpuk untuk Irfan dan menggunakan stop motion pada Ahmad.
Sedangkan Risa mewadahi karyanya dalam kubus, di dalamnya pun a figural berupa
instalasi tiruan permata menggunakan plastik mika yang berwarna warni. Karya
figuratif terlihat dari tiga seniman, Citra Kemala, Maharani, Sutra Djarot,
ketiganya menggunakan subjek berupa figur manusia atau hewan, Citra membuat
ekspresi manusia sebagai konsep berkaryanya, lalu Sutra Djarot menggunakan figur
manusia dengan warna hitam putih untuk menyampaikan ide nya, dan Maharani
membuat figur pasukan militer. Zaenal, Jodi dan Zuswa menggunakan ikon untuk
menyampaikan konsepnya, Zaenal dengan tengkorak yang terhunus pedang, dan dua
gagak, Jodi dengan setelan jas yang bermotif yang berbunyi “tek tok”, kemudian
Zuswa menggunakan ikon-ikon simbol pistol, helm militer, target tembak dan
target panah.
Jadi,
dalam pameran Multi Polar ini terjadi irisan irisan berupa keselarasan visual yang
tidak di sejajarkan dalam display nya agar terlihat kompleksitas dan
keberagamannya. Kompleksitas ini terlihat dari banyaknya medium yang dipakai,
banyaknya simbol visual yang dipakai yang tentusaja menambah khasanah
perbendaharaan visual seni rupa kontemporer.
3. Mengakaji Kedalaman Multi Polar
Saat seorang
kurator menentukan arah jalannya pameran dengan membuat kesan yang berbeda
dengan biasanya tentusaja semua sah dilakukan, bahkan kata Szeemann seorang
kurator tidak cukup hanya menjadi penyampai pikiran seniman kepada publik,
namun kurator haruslah berperan sebagai konseptor. Dalam pameran ini saya
melihat Sally juga berperan sebagai kreator konsep, kreator yang menyatukan
keberagaman konsep yang di usung masing-masing seniman dan menyatukannya lewat
tulisan yang apik.
Dari
visual yang digarap Edward Bonaparte, menciptakan sebuah ruangan yang
didalamnya ia kondisikan terdapat tanda-tanda religius baginya agama merupakan
satu alat untuk mengontrol dunia, dengan kata lain agama dikonstruksi
sedemikian rupa dan kadang dipaksakan untuk doktrin kekuasaan. Memang,
pandangan ini sedikit berkesan atheis, namun jika menilik menggunakan quotes
Nietsczhe tentang tidak ada yang mutlak di dunia ini, yang ada hanya
interpretasi, penulis meng-amini pendapat Edward. Maharani dan Adytama memiliki
kecenderungan permainan kesan disana, Maharani bermain kesan dan membawa kita
ke masa lalu, dan Adytama membawa kesan kita tentang suasana tegang mengobati
sakit kita, bayangan memoar masa silam yang di gambarkan dalam foto hitam
putih, seolah melambai jauh dan tak bisa di ulang kembali.
Penyatuan
ikon ikon, dari Jodi Zuswa dan Zaenal masing-masing mengangkat isu sosial yang
dipengaruhi atau mempenngaruhi dampak pribadi diri kita, misalnya lukisan
zaelani yang ber ikon tengkorak, burung gagak dan pedang terhunus tentusaja
visual ini menginterprtasikan sebagai sebuah kematian yang disusun menggunakan
cara craft berupa jahitan kulit sapi. Irfan berkonsentrasi dengan formalisme
nya yang ia komposisikan sedemikian rupa guna mendapatkan imej sesuai
keinginannya. Sedangkan Zuswa yang membuat simbol ikonik pistol, target dan
helm sebenarnya penulis membaca adanya isu konflik di dalamnya, namun ketika
melihat judulnya penulis justru menghubungkannya dengan dunia seni rupa saat
ini, atau dengan bahasa Inggris, “tidak ada target, tidak ada perlindungan,
hanya terluka”. Eldwin tidak menyukai citraan mooi indie yang kemudia ia
visualisasikan dengan dibakar, namun menariknya pembakaran ini bukan hal yang
sebenarnya karena Eldwin membuatnya dengan 3d dan benar saja, ketika penulis
melihat karya ini dan memakai kacamata 3d penulis agak merasa takjub. Risa
menggambarkan fenomena KW dalam karya seni, seperti barang fashion, fenomena KW
juga menjangkiti karya seni, entah diukur dari seniman pembuatnya hingga
lukisan bodong. Karya Sutra Djarot merupakan karya yang menarik, karena cukup
sulit dibaca, jika dilihat dari judulnya 50 dan objek visual karyanya yang
simetris, penulis awalnya beranggapan 50 adalah angka simetrisitas dimana
kajian filsafat mengatakan teori simetris hanya untuk orang naif, semuanya
sudah termakan interpretasi dan tidak akan ada keobjektifan.
Penulis
berhipotesa jika Citra mengusung tema feminis, terlihat dari judul karyanya
yang berkesan sarkasme “aku mencintaimu, jika kamu cantik” berkesan keluhan
seorang yang hanya dicintai karena wajahnya saja, namun persoalan hati tidak
digubrisnya, mungkin ini hampir sama dengan beberapa selera kolektor Indonesia
yang hanya melihat fenomena visual yang menarik, tanpa berfikir panjang untuk
menelisik karya ini bermakna atau hanya pemuasan estetik semata.kedinamisan
nampak kentara pada karya Ahmad, penyatuan beberapa biomorfik berujung tumpul
dan berbuntut lancip ditata sedemikian rupa dengan kecepatan dan gerakan yang
dinamis membuat satuan dari banyak gambar itu bergerak dinamis, berurutan dan
berirama.
secara
keseluruhan pameran ini seluruh karya dapat dibaca sebagai satu konsep yang
universal dimana karya-karya seniman Bandung Contemporary mewakili bidang
masing-masing dalam menyoal karya yang diawali dengan wacana yang memusat. Jadi
wacana memusat kini telah dipecah menjadi wacana antar konsep, wacana antar
visual dan wacana dengan pendekatan yang berbeda sehingga seni tidak lagi
monoton, intensi seni tidak lagi untuk pasar saja melainkan untuk tujuan
eksplorasi medium atau mungkin sebagai kemaslahatan umat, dan masih banyak lagi
kemungkinan lain yang bisa di-ekplorasi.
4. Menyoal Kelayakan Sebagai Event Standar Nasional
Penulis
menggunakan teori mimesis untuk nantinya menjadi penilaian tentang mutu dari
pameran BC yang bertajuk Multi Polar ini, penulis membandingkannya dengan
rangkaian kegiatan seni senada dengan kapasitas yang lebih establish, ArtJog,
merupakan agenda tahunan yang mengundang perhatian seni rupa Nasional bahkan
mungkin Internasional. Dari inisiatif penyelenggaraan yang tidak melibatkan
pemerintah terlihat kurang harmonisnya hubungan antara seniman Bandung dan
pemerintah Bandung, berbeda dengan kondisi DIY yang menggunakan sistem
kesultanan sebagai pemegang kendali kondisi hierarkis politik.
Jangan
terlalu “adem” dengan pujian kota kreatif, mungkin kalimat tersebut yang
penulis utarakan saat melihat penguasaan medium yang beraneka ragam dari
seniman Bandung, namun pernahkan berfikir dari kita semua untuk hidup
berdampingan dengan masyarakat kelas bawah yang belum mengerti seni dan
membungkusnya dengan kacamata yang ahierarkis?
Penulis
mengatakan hal semacam itu berlandaskan dari konsep seni sebagai agen perubah
budaya, jika seni hanya berfungsi sebagai alat estetis saja lalu apa bedanya
dengan mooi indie dulu? Pencapaian BC menurut penulis sudah sangat layak
mendapatkan acungan jempol, karena bisa merangkul seluruh medan sosial seni di
Bandung, memfilter seniman muda dengan berbagai pendekatan, mensortir wacana
dan pikiran guna memfokuskan pokok bahasan tema dan elaborasi antar seniman
yang menjadikan iklim berkesenian di Bandung kembali menghangat.
Dari
segi kultural, meskipun belum mampu menyamai kinerja Art-Jogja 2013 kemarin
mengingat Jogja sudah mapan Infrastrukturnya karena sudah merupakan agenda
tahunan sejak lama, prakarsa kegiatan ini di Bandung membuaka peluang seniman
muda dibaca oleh publik, regenerasi seniman dan praktisi seni yang nantinya
akan menggantikan fuungsi-fungsi lama dengan yang baru. Kultur penurunan
generasi yang lebih eksplisit penulis rasakan di Bandung berbeda dengan Jogja
yang cenderung tebang pilih, kursi estafet kesenian diberikan kepada ikatan
persaudaraan tanpa memperhitungkan kualitas. Dari konsep inipun, Sally dapat
dibenarkan, Multi Polar Bandung, Jogja, Jakarta dan Bali membawa imbas pola
pikir sendiri yang berbeda dan mempengaruhi infrastruktur seni di daerah
tersebut.
Dari
segi teknis dan display penulis melihat masih banyak kekurangan, seperti
terlalu padatnya pengunjung menjadikan akses tidak jelas siklusnya yang
berdampak pada kurang tersampaikannya pesan yang ingin di utarakan. Tema Multi
Polar merupakan tema yang luas, menurut penulis bisa dikatakan Sally adalah
kurator yang cukup cerdas dalam memainkan tali pengikat satu pameran, namun
dari pola yang tidak terlalu mengikat tersebut, penulis beranggapan bahwa klasifikasi
dan titik fokus dalam pameran tidak terasa. Berbanding terbalik pada ArtJog
2013 kemarin, tema maritim culture membuat terlalu banyak seniman merespon
laut, kapal, petani tambak dan kondisi laut yang lain. Dengan kata lain visual
terlalu banyak keseragaman. Sedangkan di Bandung visual terlalu keluar liar
entah kemana-mana.
Jadi
secara teknis seluruh karya di SSAS merupakan karya yang menarik dan terikat
dengan konsep kuratorial. Beragamnya medium, dan konsep per-seniman membuat
pameran selaksa bebas tak terikat, sulit menemukan korelasi kecuali dari kuratorial.
Penilaian saya kembalikan lagi kepada pembaca, dengan membandingkan Jogja
seperti di atas saya tahu akan terdengar sedikit kurang adil karena keduanya
memiliki latar belakang kultural yang berbeda, namun simpulan saya dari
mimesisisme mereka berdua adalah, tidak ada pameran kolektif yang berlangsung
sempurna 100%, karena keterlibatan semua orang akan membuat satu konteks yang
seragam jika dikomando, dan terlalu bebas jika dibiarkan.
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar disini, terima kasih