Oleh :
Muhammad Rahman Athian*
Pengunjung sedang menikmati video art TROMARAMA.
dokumentasi penulis
Pembicaraan
seni rupa di Indonesia seringkali dikaitkan dengan beberapa kota penting dalam
seni rupa Indonesia itu sendiri, Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan Bali yang masing-masing
berperan dalam medan sosial seni rupa di Indonesia. Nasjah pernah menuliskan
Yogyakarta, Jakarta dan Bali (saat itu Bandung belum begitu terpetakan) adalah
tiga kota penting bagi pertumbuhan seni rupa di Indonesia pada tahun 1960-an,
dikatakan Yogyakarta sebagai kota yang berbudaya tinggi dan memiliki iklim
kesenian serta keistimewaan posisi di Indonesia, Jakarta menjadi ibu kota
sekaligus tempat kelahiran Persagi, kemudian Bali sebagai kota yang menjadi
destinasi wisata dunia juga memiliki seni lukis tradisional yang khas dan
menawan wisatawan. Kemudian Bandung terpetakan ketika seni rupa abstrak dan
kota yang kuat eksplorasi mediumnya. Lalu bagaimana dengan kota lainnya di
Indonesia? Dengan masing-masing kepentingan, ke-khasan corak masing-masing
daerah akankah dikesampingkan begitu saja, mengingat adanya sebuah fakta pusat
seni di atas selalu menjadi tujuan berpameran seniman daerah.
Meminjam
Kekuatan Medan Sosial Seni Rupa
Pantura
selain menjadi salah satu daerah yang memiliki ciri khas lukisan seperti halnya
daerah lain juga merupakan himpunan kota-kota di jawa yang memiliki letak di
bibir pantai, menurut wikipedia Pantura melewati jalur Jakarta, Cilegon, Tangerang, Bekasi, Karawang, Cikampek, Subang, Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Banyuwangi. Namun dari
kesekian kota yang ada, jarang sekali pusat dari kesenian di Pantura yang dapat
dijadikan tempat berkumpulnya seluruh seniman Pantura.
Batang
sebuah kota yang terletak di Pantura berusaha memetakan dirinya lewat Batang
A(r)ttention yang digalang dalam rangka memposisikan seni rupa di Pantura yang
kemudian dikemas dengan menggunakan teori diferensiasi. Dimana sebuah bentuk
akan terlihat ketika bentuk tersebut berbeda, tentu saja diferensiasi
membutuhkan perangkat lain agar diterima sebagai satu keutuhan posisi Batang,
kemudian digunakanlah konsep seni sebagai bentuk kesepakatan dari medan sosial
seni.
Sebagaimana yang dikatakan Howard S Becker dimana seni
merupakan kumpulan cuilan konvensi yang disatukan dalam sebuah konsepsi benda,
dalam konsepnya ini Becker mengemukakan ada dua hal yang mempengaruhi seni yaitu
produsen dan konsumen. Berbeda dengan konsepsi ekonomi produksi-konsumsi,
konsep Becker ini lebih dekat dengan sebuah konsepsi kreator dan apresiator
ataupun kolektor, dengan kata lain sebuah benda dikatakan memiliki arti seni
jika telah melalui konvensi kreator, apresiator dan kolektor atau yang lebih
mudah disebut artworld.
Saya menggunakan kalimat meminjam kekuatan dan mengaitkannya
sebagai sebagai satuan energi positif dikarenakan adanya konsepsi Becker di
atas, dimana sebuah seni diakui berdasarkan kesepakatan yang ada. Akhirnya kami
mengundang beberapa seniman dalam rangka meminjam kekuatan mereka untuk
kemudian memposisikan diri sebagai tempat disatukannya berbagai ciri visual
dari masing-masing daerah yang berbeda dan dikenal dengan peradaban keseniannya
yang maju.
Yogyakarta sebagai tempat penghasil seniman kondang kelas
dunia menjadi kekuatan yang besar dalam melegitimasi konvensi seni kami, banyak
acara berskala Internasional diadakan di sana membuat seniman seperti D.Zawawi
Imron, Nasirun, Budi Ubrux, Rina Kurniyati, Felix S Wanto, Joko Mulono, TJ
Yuwono, Joko S Gundul, Budiyanto Trisno, Lulus Sentosa, Sentot Widodo, Ugi
Sugiarto,dan Enggar Yuwono menjadi susunan seniman penting dalam proses
legitimasi kesenian di Batang.
Bandung sebagai kota yang dijuluki laboratorium seni barat
sangat berupaya menggunakan visual dengan pendekatan medium yang berbeda, untuk
itu karya seni buah tangan seniman Tromarama, M.Zico Albaiquni, Patriot Mukmin
dan Michael Binuko, menjadi saksi visual dalam peletakan posisi Batang sebagai
salah satu medan seni rupa kelas nasional yang berupaya menjadi sentra seni di
Pantura melalui pendekatan diferensiasi tersebut.
Segmentasi, Positioning
Dan Diferensiasi
Acara
yang dihadiri juga oleh kurator Mikke Susanto dan banyak seniman kondang
Indonesia ini berlangsung pada tanggal 27 Desember 2013. Dengan mengedepankan
diferensiasi Tiga tahap yang telah
dilakukan ialah segmentasi, positioning dan diferensiasi yang diaplikasikan dalam
sebuah konsep berfikir guna mengembangkan kesenian di Batang.
Segmentasi
dimaksudkan mengkategorisasikan seniman guna membagi medan sosial seni ke dalam
kelompok-kelompok khas yang besar dan dimungkinkan memiliki perilaku,
karakteristik serta kebutuhan yang besar. Disini Bandung dan Jogjadipilih
sebagai tolak pembeda dalam meletakkan posisi Batang sebagai sentra seni di
Pantura. Acara ini juga turut dibantu oleh seniman lain seperti: Bagus A Rifai,
dan Wiwik Setyawati, dari Jogja, Suci Indyaswati, Susilo Tomo dari Pati,
Bayhaqi Januar dari Solo, Mufti Handayani dari Semarang, Karyono dari Pasuruan,
Prabu Perdana dari Bandung, serta bantuan, dukungan dan bimbingan secara
langsung dari kawan-kawan seniman Batang - Pekalongan dan Kendal yang terdiri
dari Bisho Nica, Heri Panjang, Jihan Narantaka, M Arifin Jombor, Mukaror,
Lisinatra, Al Manaf, Abdul Rohman Ragil, Rezky Yusro, Singgih a.k.a Singgat,
Supbe Chan, Tri Bakdo S, Bayu Murwoto dan Rully WK.
Lalu
kemudian sinergi dari keseluruhan seniman tersebut digunakan dalam proses
selanjutnya yaitu proses positioning, atau proses memposisikan Batang sebagai
pusat seni di Pantura. Dalam tahap ini telah dipetakan apa saja keutamaan seni
di pantura dan akan menyasar kemana arus apresiatornya, dengan menciptakan
kegiatan tahunan Batang Arttention berupaya untuk semakin mengoptimalkan dan
mengefektifkan komunikasi dari seniman dengan apresiator dengan tujuan
mengedukasi publik, kemudian berusaha secara konsisten dalam mengupayakan
edukasi seni terhadap publik serta menjadikan Batang sebagai sentra seni
Pantura.
Kemudian
diferensiasi diperuntukkan dalam proses pembanding kesenian Pantura dengan
daerah lainnya, dimaksudkan agar apresiator menyadari potensi kesenian dari
Pantura berdasarkan ke khasan Pantura dan kemudian turut menyertakan ke dalam
perbincangan seni rupa Indonesia. Demikianlah upaya kami dalam mengaitkan
energi positif dengan efektifitas kinerja kami guna meningkatkan kualitas
berkesenian dan meningkatkan edukasi publik tentang seni.
Rangkaian
Perbedaan yang Mencolok
Seni rupa di Pantura yang dekat dengan visual kelautan
seperti air, perahu, kapal, ikan, sangat terlihat pada pameran ini, kemudian
Pantura yang dekat dengan filosofis Jawa tergambar dengan banyaknya lukisan
pewayangan yang terpampang di ruang seni ini. Selain itu kedekatan Pantura
dengan laut membuat seringkali seniman menggunakan warna-warna cerah untuk
menggambarkan lukisannya.
Bandung sebagai kota yang sangat eksploratif dalam soal
media seni rupa-nya banyak menggunakan medium yang tidak biasa, bentuk yang
seringkali tidak terpikirkan dapat muncul dari seniman-senimannya yang
kebanyakan masih muda. Kebaruan-kebaruan yang ditawarkan melalui pemilihan
medium baru membuat Bandung jelas terpetakan di medan sosial seni rupa
Indonesia.
Kemudian Yogyakarta yang sudah dikenal sebagai kota seni dengan
garapan visual dan filosofinya yang apik serta kehangatan personal
masing-masing seniman turut memberikan dampak positif dalam berjalannya pameran
Batang A(r)ttention 2013 ini. Guyonan khas Jawa sangat kental membuat cair
suasana berkat Lulus Santoso yang menyanyikan beberapa lagu di pembukaan acara
ini.
Akhirnya, melalui diferensiasi di atas, dapat terlihat
kemencolokan perbedaan gaya berkesenian antara Bandung, Yogyakarta dan Pantura,
dengan demikian penulis beranggapan bahwa Batang memiliki potensi yang cukup
memadahi untuk menjadi pusat seni rupa di Pantura melalui upaya yang
berkelanjutan.
*) Penulis adalah kurator seni rupa
http://lisinnatra.blogspot.com/p/lisinnatra-art-gallery.html
ReplyDelete