Oleh : Muhammad Rahman
Athian*)
Seni rupa Indonesia, khususnya di
Semarang sesungguhnya memiliki konten yang serius dan menarik untuk
diperbincangkan. Hal ini berkaitan juga dengan medan sosialnya yang kini mulai
rapat dari kalangan akademisi, otodidak dan hobiis. Sayangnya perkembangan
tersebut tidak dibarengi dengan penulis dan pencatat seni yang berkompeten di
seni rupa. Hasilnya mudh ditebak, seni rupa Semarang miskin kritik dan berimbas
pada minimnya catatan-catatan yang penting untuk dijadikan dokumen, penelitian
dan perkembangan khasanah seni rupa di ibu kota Jawa Tengah ini.
Sebagai ujung tombak pewarta seni,
sikap dari media massa di Semarang yang “mono-opini”
dengan seniman seringkali hanya bersifat mengabarkan dan sedikit membahas
kritik, hal ini menjadikan dinamika karya seniman Semarang cenderung monoton
dalam berkarya. Tidak bisa menyalahkan sepenuhnya memang, karena kritikus di
Semarang bahkan di Indonesia masih sangat minim. Hal ini juga berimbas pada
pemahaman publik terhadap hal seni rupa menjadi sangat dangkal. Ditambah lagi,
minat publik dalam membaca buku seni rupa masih sangat minim (di samping
buku-buku seni rupa jarang yang berbahasa Indonesia). Akhirnya yang terjadi
adalah pemahaman publik terhadap karya seni rupa masih pada taraf estetika
figuratif, sama seperti faham Platoisme yang menganggap seni rupa adalah
“imitasi realitas” belaka. apresiasi yang ada hanya berbatas pada foto di depan
karya, dan memamerkan pada khalayak, tidak berbeda dengan wahana hiburan.
Kendala-kendala di atas nampaknya
menjadi lazim dimaklumi dan mungkin, dapat saya analogikan dengan melihat rumah
hantu di “pasar malam” atau “tong setan”, hiruk-pikuk dan keramaian tanpa
mengedepankan esensi konten yang harus ditampilkan. Maha-masalah di atas
harusnya menjadi tugas kita bersama sebagai pelaku seni dalam memberikan
pengetahuan berupa narasi-narasi yang mampu membantu apresiator yang belum
memahami konten estetika dalam seni rupa untuk memahami karya, tanpa menggiring
terlalu dalam dan mengakibatkan “mono-opini”.
BAHASA “BOMBASTIS” = LEBAY?
Permasalahan pertama yang paling
mendasar adalah ketika kita dianggap menggunakan bahasa melangit (baca:
filosofis) atau “lebay” ketika membicarakan konten estetis seni rupa di
kalangan masyarakat umum non seni rupa. Masalah ini sangat mengganggu saya,
ketika mencoba menerangkan sebuah karya seni rupa yang sulit dibahasakan dengan
bahasa lazim, menjadi bahasa yang umum dan mudah difahami, padahal seringkali
narasi-narasi yang ada pada karya seni tersebut tidak bisa diwakilkan dengan
bahasa yang lain (hal ini juga yang mungkin menjadi sebab beberapa perupa
Indonesia menggunakan judul bahasa Inggris). Maksud saya bahasa seni rupa yang
dianggap over bombastis itu dapat saya analogikan dengan analogi bahasa seniman
dan scientist.
Sebuah kalimat “Senja menguning
pada bukit, diiringi angin mengguncang ranting” yang dibahasakan sastrawan
dapat menggiring apresiator merasakan bagaimana sang seniman mengkomunikasikan
gagasanya. Namun pada ranah scientist
akan dibahas senja menguning sebenarnya adalah hal biasa, karena dibaca melalui
sudut pandang pergeseran matahari yang mempengaruhi cahaya di bumi, dan ranting
yang bergoyang adalah keadaan fisikawi di mana gaya angin dapat menggerakkan
ranting. Tanpa bermaksud memisahkan seni dari dunia science, Hilangnya “rasa” kadang sering terjadi ketika seni rupa
dinarasikan dengan bahasa yang terlampau umum dan berimbas terhadap
berkurangnya nilai adi luhung sebuah karya seni, meskipun akhirnya pada kajian
filsafat ke-adi luhungan seni dipertanyakan kembali kepentingannya di dunia
seni rupa kontemporer ini (baca : lima jurus gerakan seni rupa baru, poin 2 :
1977), namun setidaknya tidak merusak “rasa” dari citraan yang dibuat seniman
jika mempertahankan bahasa tertentu untuk mengungkap arti karya seni.
Kedua, masyarakat belum sepenuhnya
memahami pengertian seni secara filosofis, apa dan bagaimana sebuah karya bisa
dikatakan menjadi seni?
Contoh kasus yang lebih tepat
seperti ini, ketika seorang Andy Warhol memamerkan karyanya yang berjudul
“Brillo Boxes” yang dibuat tahun 1964. Yang secara fisik hanya memperlihatkan
mimesis kubus sabun yang dijual dipasaran dan dipajang saja pada sebuah museum
seni rupa. Kemudian bagaimana ketika Warhol mengontrak beberapa stasiun TV di
Amerika untuk menampilkan dirinya saat memakan Hamburger. Ini menjadi sebuah
kegiatan yang sangat penting untuk kemudian mendefinisikan apa itu seni. seni
didefinisikan beragam berdasarkan kondisi sosialnya, diantaranya;
1. Banyak
filsuf akhirnya mendefinisikan karya seni adalah sebuah kesepakatan, jika karya
seni itu disepakati sebagai karya seni maka itulah karya seni.
2. Karya
seni juga bisa divaluasikan dari sebuah kelembagaan, jika satu lembaga
menganggap satu benda itu karya seni, maka itulah karya seni. lembaga ini tidak
hanya lembaga resmi, namun juga seorang kritikus, kurator dan individu lain
bisa juga diposisikan menjadi lembaga dengan catatan kompetensinya memang sudah memenuhi syarat.
Sebenarnya masih sangat banyak cara
lagi mendefinisikan seni, namun dua ranah di atas seringkali dijadikan acuan
dalam berbagai macam perbincangan seni rupa. selain paparan di atas, masih
banyak permasalahan dalam proses apresiasi seni rupa, terutama adalah cara
membaca karya seni rupa yang seringkali berlapis konsepsi sehingga menyebabkan
penonton kebingungan dalam mengapresiasi karya tersebut. Di dunia seni yang
konon sudah masuk pada era kontemporer ini, para pegiat seni mengenal istilah “Anything Goes” atau semua serba boleh,
di mana seni menjadi sangat cair dan sangat bebas diarti-artikulasikan.
Permasalahan kedua dan sekaligus masalah inti dari tulisan saya ini adalah
bagaimana membuat apresiator awam mudah memahami sebuah karya seni rupa?. Pada
subbab berikutnya akan saya paparkan, upaya saya dalam membaca karya seni rupa
dengan pendekatan yang mungkin dapat lebih mudah diterapkan pada
penulisan-penulisan apresiasi seni rupa yang lebih mudah diterima.
KARYA YANG BAIK ADALAH
KARYA YANG “MENGGANGGU”?
Perbincangan saya dengan Nindityo
(founder yayasan seni rupa Cemeti) membuahkan satu pertanyaan besar yang bisa
menggiring kita ke pemahaman membaca karya seni rupa, pertanyaan tersebut
adalah “apakah benar karya seni rupa yang baik adalah karya yang mengganggu?”
jika hanya gangguan tersebut yang diutamakan lalu “apa bedanya dengan wahana
pasar malam yang saya sebut di sub bab pertama?”
Pembaca, ternyata gangguan yang
dimaksud di sini adalah gangguan estetis, atau gangguan atas meracaunya hati
kita, tergelitiknya hati kita, rasa yang terkadang bisa menyeruak begitu saja,
atau bahkan kita bisa tidak merasakan sensasi apapun dalam menikmati “rasa”
(baik itu melihat atau berinteraksi) sebuah karya seni. Mudahnya,
gangguan-gangguan itu dapat memunculkan
pengalaman baru dalam menikmati persoalan karya seni baik dari segi filosofis
(konsep) misalkan kegundahan tentang kemiskinan atau segi teknis pengemasan
karya sekalipun, misalkan karya drawing yang hyperrealis, karya yang sangat
kecil, neo-surrealisme, atau display yang sangat sulit dan membuat setiap orang
berdecak kagum dalam melihat karya tersebut. Fungsinya? Jika anda terganggu
akan “rasa” dan “sensasi” yang menarik apresiator untuk melihat karya tersebut,
maka ketika apresiator itu bertanya, “ini karya tentang apa ya?” itu sudah
merupakan pintu keberhasilan seorang seniman dalam berkarya.
Jadi tahap pertama dan yang paling
mendasar dalam menikmati karya seni adalah dengan turut merasakan
gangguan-gangguan tadi dalam hati kita, jika belum menemukan gangguan itu
cobalah masuk lebih dalam. Jikapun dalam karya tersebut sama sekali tidak
mengganggu, anggap saja karya tersebut kurang menarik, toh prespektif estetis
manusia didasari dari pengalaman yang ia terima, sehingga membaca gangguan
sangatlah subjektif.
Pada sebagian negara-negara
sekuler, galeri dan museum seni bahkan bisa menjadi sumber refleksi diri yang
lebih manjur daripada tempat ibadah agama tertentu. Bukan mustahil seorang
seniman bisa menangis saat melukis sebuah karya karena benar-benar merasakan
“sensasi” dari luapan emosi-emosi dirinya sehingga karya tersebut menjadi
bentuk refleksi seniman, bahkan jika kepekaan apresiator cukup mampu menangkap
“rasa” ciptaan seniman, apresiator-pun dapat memetik pengalaman itu dengan
tangisan. Gangguan berupa sensasi atau rasa ini mungkin memiliki irisan
kesamaan dengan kondisi muslim berlinang air mata ketika menikmati rasa dan
sensasi saat shalat atau berdo’a, bahkan muslim yang lain pun bisa menangis ketika
mendengarnya, atau mungkin seorang pastur yang sedang memimpin jemaatnya
kemudian suasana berubah mengharu-biru, gangguan ini yang akhirnya menjadi
pengikat hubungan seni dan rasa.
Namun perlu diingat, meski
seringkali kelahiran sebuah karya seni dimotivasi oleh berbagai representasi
dan abstraksi dari sebuah realitas, Seni bahkan bisa saja menjadi pendobrak
atas realitas tersebut (Narasi Simbolik Seni Rupa Kontemporer Indonesia : Acep
Iwan Saidi). Misalkan Heri Dono membuat sebuah lukisan berjudul “menonton video
porno, acrylic and collage on canvas, 100x100 cm dibuat tahun 1992” adalah
sebuah gambaran peristiwa sosial keseharian masyarakat namun sekaligus bisa
menjadi sindiran nyinyir pada penikmat film tersebut. Setelah karya tersebut
dipamerkan, bukan tidak mungkin Heri Dono ini mendapat pujian karena mengurangi
peredaran video porno? Atau malah mungkin sebaliknya?.
Akhirnya seni bukan semata
representasi dan abstraksi sebuah gejala realitas, namun seni adalah realitas
baru itu sendiri, mengingat sebuah karya seni yang dihasilkan seniman melalui
perenungan dan imaji-imaji tertentu sehingga memungkinkan menjadi pendobrak
paradigma baru.
INTI : INTERPRETASI
Terlepas dari persoalan mengganggu
atau tidaknya sebuah karya seni, pembacaan tetap bisa dilakukan cukup dengan
menginterpretasi karya seni. Saya teringat pernyataan Terry Barret “I've placed major emphasis on the
interpretation of artworks because I believe that discussion of meaning is more
important than pronouncements of judgment and that interpretation is the most
important and rewarding aspect of criticism. Interpretive discussion increases
understanding and thus deepens appreciation…” dari pernyataan Terry Barret
tersebut dapat diasumsikan bahwa makna dari sebuah karya seni menjadi hal yang
lebih penting daripada proses “penghakiman” atau evaluasi bagus dan tidak dari
sebuah karya seni dalam sebuah diskusi atau tulisan tentang seni, karena
sebenarnya proses interpretasi adalah proses paling vital dalam sebuah
pemaknaan seni rupa.
Proses interpretasi karya seni rupa
mengedepankan dugaan atas asumsi-asumsi apresiator pasca merasakan sensasi
mengapresiasi sebuah karya seni dan membaca karyanya. Akhirnya apresiator
mendapatkan sebuah alur naratif yang dtuangkan seniman dalam sebuah media seni
rupa. Bahkan, sebuah kanvas yang hanya berukuran sebidang 100 x 100 cm pun bisa
bercerita sedemikian panjang, bahkan melebihi film India yang dikenal super
panjang, menariknya kondisi demi kondisi yang tertuang pada satu bidang
tersebut bisa saja memiliki durasi dan dibaca sepenggal-sepenggal. Misal saja,
Haryadi Suadi meringkas sebuah lakon pada dunia wayang, dan dipindahkan pada
sebidang kertas dengan teknik grafis, gaya penggambarannya yang imajiner dan
kontural memungkinkan Haryadi S untuk menuangkan ilustrasi yang panjang pada
setiap segmen pada media seni grafis cukil-nya yang terinspirasi dari wayang
beber.
Lalu interpretasi yang seperti apa
yang harus dilakukan?
Interpretasi adalah proses paling
penting bagi seorang apresiator dalam membaca karya seni rupa, Ia bisa mengeruk
sedalam-dalamnya kemungkinan-kemungkinan ide, imaji, dan lapisan-lapisan
tatanan emosi yang tertuang pada sebuah karya seni yang dibuat oleh seniman. Sedangkan
untuk mendapatkan esensi dari kegiatan interpretasi, apresiator yang baik
harusnya memperhatikan tiap jengkal ilustrasi, simbol, dan tanda pada sebuah karya
seni. Pembacaan ilustrasi, simbol dan tanda ini sering diistilahkan dengan
tahapan deskripsi pada teknik kritik seni (art as image and idea : Feldman). Untuk
itu sebelum membahas inti bagaimana membaca karya seni, akan lebih lebih mudah
paparan ini difahami jika saya menuliskan bagaimana tahapan deskripsi atau membaca
bentuk dan imaji pada sebuah gambar terlebih dahulu.
Bilapun ada, langkah pertama dalam mendeskripsikan
sebuah karya seni rupa adalah dengan mengkaitkan secara equivalen imaji pada
karya dengan judul karyanya biasanya terletak pada “caption atau label” dan
dipasang di sisi kanan atau kiri karya seni. Menariknya seniman tertentu kadang
memberi judul karya yang aneh dan kadang tidak terkait dengan imej yang digarap
pada karyanya. ini adalah sifat kebanyakan seniman ketika membuat karyanya
tidak mudah dibaca, sehingga membuat apresiator dapat mengecap manisnya
interpretasi menurut kacamata prespektifnya sendiri. Bukankah cerita Sherlock
Holmes menarik karena banyak teka-teki dan kecurigaan?
Kemudian langkah berikutnya
memperhatikan pemilihan medium dalam berkarya menjadi sebuah hal yang wajib
dilakukan sebelum mendeskripsikan karya. Perlu difahami bahwa setiap medium
memiliki “kesan” tersendiri dalam menghasilkan rasa dan gangguan tergantung
bagaimana seniman membuat gangguan tersebut. Misal pada sebuah karya patung
berjudul “The Candidate Promised Bring Me
Up” yang dibuat dengan fiberglass for
metal dengan cat akrilik sebagai finishing-nya.
Menariknya secara visual terlihat sebagai kardus yang disusun tidak rapi ke
atas. Dari visual tersebut akhirnya seniman sudah menciptakan gangguan sensasi
rasa berupa kardus yang sebenarnya memiliki sifat keras. Akhirnya gangguan
kontradiktif ini bisa menjadi decak kagum tersendiri bagi apresiator untuk
mengulik lebih jauh tentang karya ini. (baca katalog Modus : Pameran Patung,
Asosiasi Pematung Indonesia).
“The Candidate Promised Bring Me
Up” medium : fiberglass for metal and acrylic paint, Years : 2014
Perlu dilihat juga tahun pembuatan
sebuah karya, ini terkait dengan konteks pameran yang dibuat, misalkan sebuah
patung dengan teknik cor logam berbentuk kubisme fiuratif dibuat pada tahun
2016, kita tahu bahwa kubisme figuratif sangat jarang dipakai pada era
kontemporer ini, karena gaya tersebut adalah gaya modernis. Maka gaya tersebut bisa
menjadi gangguan tersendiri bagi pengamat seni, hal ini berkaitan mungkin
dengan selera seniman, ide atau gagasannya membahas tentang formalisme, atau
bahkan memiliki kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Setelah mengamati keterangan karya
langkah berikutnya yang perlu difahami adalah membaca karya secara kasat mata, titik, bidang, bentuk, ruang, shadow, warna,
tekstur, komposisi, dominasi, durasi, segmen, bahkan suara atau bau-bauan dan
jika ada. Barulah sumber dari unsur-unsur tersebut dapat dibahasakan pada gaya
bahasa yang lebih umum, langkah awal ini menjadi sangat penting karena
imej-imej tersebut secara visual mempengaruhi tingkat keterbacaan karya.
Barulah setelah melihat secara
visual dan mendeskripsikannya apresiator bisa memulai melakukan analisa, bentuk-bentuk
tersebut bisa mulai dikaitkan dengan judul yang ada, dengan komposisi dan
pemilihan warna yang ada. Sehingga menghasilkan rentetan ilustratif, menariknya
dalam sebuah karya seni rupa, terkadang sangat memungkinkan dibahas “multi
gagasan”. Perbedaan gagasan itulah yang justru sangat menarik untuk dibahas,
seni menjadi satu teka-teki yang sangat unik untuk dicermati ulang, dikaitkan
ulang, dan difahami sebagai sebuah nilai yang majemuk.
Setelah kecurigaan-kecurigaan tadi
mulai tersusun, maka langkah berikutnya dalam membaca karya seni adalah langkah
inti, berupa interpretasi. Seperti yang sudah dibahas di atas, bahwa
Interpretasi adalah sebuah kunci dari proses apresiasi melalui pembacaan konsep
dan gagasan seniman terhadap sebuah karya seni rupa. Diambil dari keterkaitan
deskripsi dan analisis tadi, kemudian ditarik menjadi sebuah rentetan
penjelasan sehingga mengerucut pada satu gagasan tertentu. Pada tahapan
interpretasi ada baiknya mengerucutkan satu gagasan saja. Terlepas searah atau
tidak pembacaan kita dengan gagasan yang dilontarkan seniman, pengerucutan
tersebut akan menjadi satu titik pendefinisian karya seni rupa dengan proyeksi
yang cukup objektif.
*) Kurator Seni Rupa
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar disini, terima kasih