Oleh: Muhammad Rahman Athian
Abad 21 ini di isi sekelibat Boom seni rupa
pada tahun-tahun tertentu hingga pada puncaknya tahun 2010 dan menghasilkan
geliat seni rupa pada berbagai macam daerah. Keberadaan pusat-pusat seni mau
tak mau menggiring seniman berlayar ke arah pusat tersebut. Kendati sebenarnya
pusat adalah sebuah gelombang yang diciptakan, namun kuatnya gelombang pada
kota seperti Jakarta, Bandung, Jogja, dan Surabaya (saya tidak memasukkan Bali
karena kesenian Bali berorientasi kepariwisataan) sebelum fenomena Boom menjadikan
kota-kota tersebut tidak perlu dikondisikan lagi untuk mewadahi seni rupa
kontemporer dengan berbagai macam isu nya.
InsyaAllah Kontemporer merupakan sebuah
gambaran fisik pameran dari kota Semarang yang kuwalahan membuat infrastruktur
tersebut, usahanya tentusaja dengan meminjam kekuatan seniman pada garis daerah
“mujur” di atas. Secara bahasa kata InsyaAllah berasal dari bahasa Arab yang
berarti “Jika Allah berkehendak”. Namun kata ini tidak dengan lugu dijadikan bahasa
untuk menggiring apresiator berfikir bahwa ini adalah pameran seni rupa Islam. Karena
pada kasusnya kata ini justru bersifat paradoks, di Indonesia terutama pada
kaum abangan[i][1]
kata InsyaAllah adalah kata yang merujuk pada ketidaksiapan akan memutuskan
sesuatu yang berakibat menjawabnya dengan ragu-ragu.
Dari sekian kata yang ambigu, ketidapsiapan
inilah menurut saya yang paling cocok dengan kata kontemporer di Semarang dan
sebagian kota lainnya yang belum siap menghadapi lajunya. Namun di satu sisi
lain, kata InsyaAllah mengartikan sebaliknya, InsyaAllah juga mengartikan
sebuah optimisme yang kuat bagi kaum santri. Dengan kalimat ambigu ini
menjelaskan sebuah kondisi antara siap dan tidak siap secara bersamaan yang
telah disepakati oleh golongan tertentu guna menjadi arti yang lebih spesifik.
Sebuah Analogi Kolektivitas
Eksistensi seorang manusia terlihat dari
kecenderungannya hidup, kehidupan yang dikonstruksi sedemikian rupa menggiring
manusia selalu melakukan upaya untuk memenuhi keinginannya, melalui interpretasi
yang dibangunnya sendiri untuk menjadikan pola yang diyakininya dibenarkan,
kemudian manusia mencari pembuktian atau pembelaan dari manusia yang lainnya,
seorang filsuf kenamaan Friedrich Nietzche berpendapat ”Sama sekali tidak ada
fakta yang ada hanyalah intepretasi”.
Dari quotes di atas, penulis mencoba mencerna
maksud Nietzche, berawal dari sebuah konsepsi manusia sebagai makhluk sosial,
yang artinya bukan hanya makhluk yang menggantungkan hidup dari yang lain,
namun lebih dari itu manusia bergantung sepenuhnya dengan konvensi masyarakat.
Konvensi merupakan sebuah hukum kesepakatan, yang mengkotakkan sesuatu terhadap
pemikiran yang mengerucut. Konvensi juga adalah bentuk dikte dari banyak
elaborasi emosi individu yang kemudian disepakati oleh banyak individu lainnya
dan menghasilkan satu kesimpulan.
Sedemikian pentingkah kesepakatan itu?
Mari menilik kesepakatan dari segi bahasa
terlebih dahulu, misalkan saja kata “Saya” merupakan sebuah kata resmi yang
digunakan untuk menjelaskan bentuk tunggal subjek pertama, lalu mengapa “saya”
itu disepakati menjadi bahasa baku, mengapa tidak aku? Gue? atau Inyong? Itu
karena “Saya” merupakan bahasa melayu yang dipilih untuk menyatukan bahasa di
Indonesia yang sangat beragam, kemudian kata saya di dapatkan dari kesepakatan
pemerintah, ahli bahasa, permikiran asal muasal sejarah, atau institusi
pendidikan. Penulis mencoba mengambil sebuah contoh, jika seorang yang
menggunakan bahasa “gue” dalam tulisan ilmiah maka tulisan tersebut dianggap
tidak relevan dengan bahasa penulisan baku, hal ini senada dengan seabrek
persoalan yang berhubungan dengan kesepakatan dengan yang kita hadapi
sehari-hari.
Sosiolog kenamaan Howard Becker menerjemahkan
kesepakatan dari sudut pandang seni yang juga bisa dipakai pada kesepakatan
tertentu di permasalahan konteks keseharian lain, ia menyebutkan bahwa sesuatu
disepakati berdasarkan tidakan kolektif, pembicaraan mengenai teori Becker ini
juga bisa dibuktikan dengan menggunakan pendekatan psikologis “kekuatan ego[2]”
yang pernah dilakukan oleh Solomon OSCH. Penelitian tersebut mengambil satu
sampel kelas yang berisi 30 siswa, seluruh siswanya diberikan satu soal yang
berbunyi seperti berikut:
“apakah anda sudah sarapan pagi ini?”
sudah
belum
saya belum makan karena saya tidak merasa
lapar saat pagi
saya tidak pernah merasa kelaparan
Jika Solomon menyuruh 29 siswanya untuk
menjawab D, tanpa sepengetahuan 1 siswa yang diteliti, artinya siswa yang
diteliti tersebut kemungkinan menjawab D hanya 25% ditambah dengan pernyataan
yang tidak mungkin, maka kemungkinan 1 siswa yang tersisa akan menjawab A, B
atau C. Setelah tahu seluruh kelas menjawab D maka siswa tersebut mulai bingung
dengan jawabannya, akhirnya dia mulai meragukan apakah jawabannya tepat.
Begitulah kesepakatan dibentuk, berawal dari
interpretasi yang dibangun dan di kuatkan. Konstruksi kesepakatan bisa
terbentuk dalam konteks apapun dengan catatan dapat dibuktikan entah itu
Politik, akademik, ekonomi, sosial, bahkan agama[3].
Mari kita coba mundur sejenak pada sejarah tahun 1960-an dimana terjadinya
perang dunia II, sebuah blok besar dari Komunis menghantam pemahaman
interpretasi seseorang menggunakan paham komunis, seluruh konsepsi seni
dibombardir oleh marxis dengan dalil “seni untuk perubahan” seni sebagai sebuah
artefak harus berfungsi sebagai sebuah artefak yang menggugah hati rakyat untuk
maju bersama menyejajarkan strata sosial, penulis seni sekubu dengan paham
tersebut adalah Walter Benjamin yang pendapatnya bisa anda simak pada bukunya
yang berjudul Origin of
German Tragic Drama. Pada pihak Amerika menggunakan Jackson Pollock
untuk melawan arus seni sebagai artefak fungsi dengan seni itu otonom. Akhirnya
bukti terbaik adalah “kemenangan” peperangan, interpretasi yang dibangun kedua
kubu dibuktikan dengan kemenanangan Amerika atas Sovyet yang kemudian
menobatkan seni sebagai suatu yang
otonom.
Lalu dimana letak kesepakatan menjadi tidak
disepakati?
Seluruh interpretasi yang dibangun menjadi
satu konvensi bisa dibangun melalui teori yang dibuktikan bahkan jika berakhir
pada sebuah hipotesa yang meyakinkan. Kembali penulis mencontohkan sebuah
kasus, jika sebuah buah-buahan dari plastik yang dibuat sangat mirip aslinya
dan di display di restoran, lalu beberapa orang yang kelaparan datang kesana
maka tanpa ragu orang-orang tersebut akan ber-hipotesa “alangkah segarnya buah
itu, saya akan sangat kenyang jika memakannya”, tanpa harus memakannya. Teori
ini juga yang terjadi dalam beberapa kasus di dunia genetika, Darwin
berhipotesa dengan menyertakan beberapa sampel yang dikonstruksi sedemikian
rupa kuatnya untuk membenarkan teori evolusinya, sejauh belum ada satu teori
yang lebih kuat dari teori tersebut maka konvensi evolusi merupakan kebenaran
yang disepakati.
George Dicky seorang kritikus menggunakan
teori Institusi untuk menetapkan persoalan kesepakatan, dalam hal ini seni,
Dicky mengatakan, bukan hanya sebuah kesepakatan saja yang dibutuhkan melainkan
institusi yang menetapkan, misalkan seorang seniman bisa saja mengatakan
karyanya merupakan karya seni yang mutakhir, namun ketika medan sosial seni
yang melegitimasi (seniman, kritikus, akademisi, kurator, museum seni, galeri seni,
kolektor .dsb) tidak mengamininya maka, sekeras apapun seniman tersebut berkoar
tak akan ada yang menggubris. Dalam kasus ini sejarah telah menuliskan Van
Gogh, betapapun kuat idealismenya, tidak ada satupun institusi yang mengatakan
karya Van gogh sebagai karya seni. Meskipun pada jaman berikutnya baru bisa
dibuktikan.
Menarik! Pierre Bordieu mengulasnya dalam
sebuah konsep “cultural field” atau juga disebut sebagai medan budaya, yang
juga banyak mempengaruhi konsepsi seni, Bordieu menyebutkan bahwa sebuah seni
bisa diakui dalam sebuah konteks yang cocok, misal saja lukisan michaelangelo
“the creation of adam” yang secara visual telanjang akan dianggap bukan seni di
Arab bahkan (mungkin akan di anggap tabu), sebaliknya karya kaligrafi timur
tengah hanya akan dianggap sebagai ornamen penghias dalam ruangan, bukan
sebagai seni.
Akhirnya, penulis melihat fenomena kesepakatan
hanya sebagai fenomena siklus kultural yang akan datang dan pergi seiring
dengan perkembangan jaman, analogi lain yang akan penulis cantumkan adalah
analogi salah satu majelis masyarakat yang mampu meng-halal-kan sebuah makanan,
mampu mengeluarkan fatwa yang berisi sah boleh atau tidaknya sebuah produk
dimakan di Indonesia, ditengok dari beberapa teori di atas, saat ini siklus
majelis tersebut sangat dominan mengingat agama yang melingkupi majelis
tersebut juga agama dominan di Indonesia dan bukan tidak mungkin Majelis yang
dominan tersebut menjadi tidak lagi dipakai saat masyarakat Indonesia lebih
dominan memeluk agama non-Muslim. Dengan kata lain, “Halal” adalah sebuah
kesepakatan yang bersifat siklus, karena kebenaran sebuah ke-halal-an hanya
bersifat interpretasi yang disepakati oleh badan legitimator yang diakui dengan
adanya hipotesa yang sangat kuat.
Pameran ini mengerucut pada perbincangan seni
sebagai sebuah produksi yang disepakati, dengan masing-masing senimannya yang
mengkontruksi konsep dan visualnya agar membuat karya semenarik mungkin untuk
direalisasikan kedalam sebuah pameran, dengan pertimbangan masing-masing
seniman dalam mengerucutkan pikirannya dan dimuntahkan pada sebuah karya seni
rupa. Kurator akan memilih beberapa seniman dari Semarang, seperti Ragil Adi
Winata, Singgih Adhi Prasetyo, Husni Mubarok, M Yudha Wicaksono dan Dani
Febriana, dari Solo Hasan Conang, dari Bandung: Patriot Mukmin, Dea Widya dan S
E Dewantoro, dari Surabaya: H. Nur Cholis dan Dukan Wahyudi, dan pada katalog
ini akan dibahas lebih lanjut mengenai karya pada masing-masing seniman.
[1] Masyarakat Indonesia terdiri dari kaum abangan,
ningrat, dan santri. Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang
mempraktikkan Islam dalam versi yang
lebih sinkretis bila dibandingkan
dengan golongan santri yang lebih
ortodoksMuchtarom, Zaini. 1988. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: Inis.
[2] Teori Psikologi, dari Solomon OSCH yang merupakan teori untuk
mengukur kemandirian atau keteguhan seseorang
[3] Penulis menggunakan pendekatan non Agama, untuk menetralkan
presepsi yang memihak.
*) Penulis adalah Kurator muda seni rupa
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar disini, terima kasih