Oleh : Muhammad
Rahman Athian*
Pukul 18.30 (Waktu Jakarta) kami sampai di depan Galeri
Nasional Indonesia, disertai dengan setetes-dua tetes air hujan saya
menghampiri bapak Krisna Murti yang berdiri mengenakan batik, setelah
dipersilakan kami berjalan menuju buku tamu. Namun tak kurang dari setengah jam
dari itu hujan deras mengguyur, nampak panitia pameran bertugas lebih siaga.
Setelah volume hujan mereda maka acara dimulai dengan pengantar kuratorial,
sambutan dan pembukaan.
Pameran yang dikuratori oleh Kuss Indarto dan Asikin Hasan
ini menampilkan 115 karya seniman dari 25 provinsi yang secara objektif menampilkan
karya yang beragam, Seperti lukis, Instalasi, Patung dan Video. Keberagaman itu
tetap menyatu dalam kesamaan usaha seniman mewacanakan kritik mereka terhadap
konteks berfikir mereka. Konteks berfikir disini mengacu kuratorial yang dibuat
Kuss, yaitu bagaimana seorang seniman merespon sebuah kritikan kepada kehidupan
sosial dan politik di Indonesia menjadi sebuah visual.
Sedikit membahas tentang karya, seniman perwakilan dari Jawa
Barat Patriot Mukmin yang berjudul keberadaan pikiran #7 ; dialog dan
keseimbangan memperlilhatkan satu bentuk ilusif dalam karyanya, setidaknya dari
pembacaan saya patriot mengangkat betapa menariknya membuat manusia berfikir
“relatif” dalam melihat karyanya, tergantung dari sudut pandang mana orang
tersebut melihat patriot. Hanh dari Bali memamerkan karya berjudul Inner Peace,
menariknya ia menggunakan pose Budha dalam visual seorang tentara yang membawa
senapan. Tentunya kondisi ini menimbulkan titik paradoks tersendiri dari
apresiator Sugiharto menggarap catatan sejarah 1998 yang berjudul “Album
Reformasi” pada karya ini terlihat beberapa catatan visual perupa Banten
tersebut tentang masa reformasi di Indonesia dengan dibumbui beberapa metafor.
Agung Santosa dari DIY mendetail visual daging yang ia beri judul “Meet Meat
Meeting seri 04” membuat saya berfikir prupa ini benar-benar me-metaforakan
kemarahan dengan layer yang cukup menarik.
Dari jakarta Andi Rha Rha Rha mengingatkan kembali pesan
bapak pendiri bangsa, agaknya Andi cukup resah dengan sentralisasi kepentingan
sosial di Indonesia yang menjadikan negara ini berkesan hanya milik satu
golongan, agama, ras, tapi milik semua warga negara dengan segala
kepentingannya yang berbeda. Hasan menyuarakan Jawa Tengah dengan karyanya yang
berjudul “selalu ada api” memetaforakan api dalam mewacanakan kemarahannya. Dari
Jawa Timur saya tertarik dengan karya “Golput” yang bertuliskan huruf arab yang
dibaca “Khalal”. Dari visual ini saya membaca Sony ingin membicarakan pelegalan
golput dikarenakan sudah tidak ada lagi politikus yang bisa dipercaya dalam
memimpin negara.
Nan jauh dari Aceh Fadhlan Bachtiar melukiskan kemarahannya
terhadap polusi alam dengan judul “..Masuk Kota Biru..”. Sedangkan ajar Khadafi
mewakili Bangka belitung dengan judul”surat kosong”, saya membaca karya ini
memiliki banyak layer yang pada judulnya berkesan ingin menyuarakan sesuatu,
tapi tidak berani menampilkannya, keadaan ini mungkin yang sering dirasakan
banyak manusia, ketakutan akan hukuman atau jawaban yang tidak sesuai harapan.
Selain propinsi di atas beberapa seniman yang mewakili propinsinya yaitu Jayus
Agus Tono dari Kalimantan Barat, Umar Sidik dari Kalimantan selatan, Surya
Darma dari Kalimantan Timur, Aria Susiwa M dari Lampung, Muh.Sale dari NTB,
Hendrik B dari Papua, Gusti Zs dari Riau, Sulawesi Tengah diwakili Agustan, Endeng
mewakili Sulteng, Alfred Pantolondo dari Sulut, kemudian Nasrul dan Amirudin
mewakili Sumbar, Fajar Agustono dari Sumsel dan terakhir Rahmad R menampilkan
abstrak dari Sumut.
Dari kesemua seniman (meskipun tidak semua saya sebut di
atas) menurut saya bukan menjadi satu ajang saling mengalahkan satu provinsi
dengan yang lainnya, namun saya justru melihat adanya peleburan dan pembauran
dengan ber-marah ria bersama hingga meleburkan kesemuanya menjadi satu kesatuan
yang apik.
META AMUK :
UPAYA DE-SENTRALISASI SENI RUPA INDONESIA
Meski saya berpendapat ini merupakan peleburan, tentu saja
dengan visual yang ditampilkan dalam pameran dan pembahasan konsep, tidak bisa
dicegah jika beberapa orang mengatakan pameran ini berkesan ajang saling
“mencela” sesama seniman, betapa tidak seniman dari kota sentral yang sering
mendapat asupan referensi visual akan berbeda dalam melihat seniman dari sudut
daerah yang jauh dari sentral seni. Adanya konsep dominant culture, atau
dominasi kebudayaan menjadikan beberapa daerah dianggap kurang berpengaruh
dalam seni rupa, menurut saya pandangan ini perlu segera di luruskan, dominasi
kebudayaan seni yang sering “diborong” dari kota besar tertentu (terutama di
Jawa-Bali) membuat daerah lain merasa terpinggirkan, adanya pameran META-AMUK
ini menurut saya merupakan upayanya dalam de-sentralisasi seni rupa di
Indonesia, menyejajarkan seniman dengan karya mereka masing-masing menurut saya
sungguh pemandangan yang membuat saya bersorak dalam hati.
Upaya META AMUK dalam merayakan de-sentralisasi menurut saya
pantas mendapat apresiasi yang baik, karena menghadirkan 115 seniman dari 25
provinsi di Indonesia bukan perkara mudah. Betapapun proses display yang diatur
sedemikian rupa dengan sengaja membuat semua seniman merasa menjadi “sentral”
dalam ruangan yang dibagi tiga bagian itu.
GALNAS
MENCATAT SAAT INDONESIA MENGKRITIK
Galnas sebagai state
museum tentu saja telah melaksanakan pekerjaannya dengan cukup baik,
mewadahi seniman seluruh Nusantara (meskipun tidak seluruhnya) dengan diadakannya
META AMUK, dengan tujuan mengumpulkan amarah masyarakat yang telah dipendam
selama ini dengan divisualkan dengan dalam sehingga akan terasa lebih
menyakitkan dari pukulan, lebih keras dari teriakan dan lebih panas dari
kobaran api demonstrasi anarkis. Galeri Nasional yang terletak di depan stasiun
Gambir ini sebagai state museum
benar-benar objektif dalam berpihak, seniman diwadahi untuk mengkritik maupun
otokritik kondisi dalam ruang lingkup mereka masing-masing, entah itu politik,
ekonomi, budaya hingga alam. Sekali lagi ke-objektifan Galnas diperlihatkan
dari diplay seniman yang ditata sedemikian lebur hingga terasa satu kesatuan
tanpa memandang dari segi mana yang sentral.
Saat seniman seuruh Indonesia bersama mengkritik dengan hasil
karya masing-masing, Galnas mencatat kejadia ini, karena dialah lembaga yang
melegalkan kesenian, dengan kata lain Galeri Nasional terbukti objektif dalam
mewacanakan pameran Nusantara dengan pendekatan de-sentralisasi budaya seni. Saat
semua mengkritrik Galnas mencatat, maka adil jika Galnas disebut Museum Seni
Rupa Indonesia.
*) Penulis adalah
Mahasiswa Senirupa di Bandung
|
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar disini, terima kasih