Oleh : Muhammad Rahman Athian
Naluri
manusia adalah bebas, bagaimana seorang menginginkan suatu hal yang sangat
bebas, semua keinginan manusia dilandasi oleh “bagaimana dirinya mendapatkan
keleluasaan untuk melakukan banyak hal” namun bebas yang sebenarnya bebas itu
tidaklah ada, kecuali adanya keterikatan mengenai konsepsi bebas. Berbagai cara
manusia lakukan untuk mencapai kebebasan yang diinginkan, tentu caranya berbeda
tergantung bagaimana dan dari sudut pandang mana bebas ini dikonstruksi. Dari
sudut pengusaha, bebas baginya mungkin adalah bagaimana ia bisa berusaha untuk
membebaskan dirinya dari ikatan waktu saat bekerja, namun bagi seniman
kebebasan adalah bagaimana seniman melihat dunia dari kacamatanya dengan
pendekatan dan visual yang longgar menurut seniman tersebut.
Di
Semarang, seorang Ragil Adi Winata (Tata) memberikan pengertian berbeda
mengenai bagaimana naluri dalam diri manusia seharusnya bertolak, itu terlihat
dari karyanya yang berjudul Rumput
Orang Lain Lebih HIjau dari Rumput Sendiri dibuat dengan media pensil
warna pada kertas berukuran 40 x 30 cm x 4 dan dibuat tahun 2012, yang
kebetulan juga dipamerkan di ARTJOG 2011 lalu. Tata yang tertekan karena
berbagai masalah dalam hidupnya berusaha mengatasi bagaimana untuk
menyelesaikan permasalahannya, salah satunya adalah dengan jalan berkarya.
Melihat
judul dari Tata di atas, penulis berfikir Tata adalah seniman yang unik karena Tata
berfikir sangat realistis, rumput orang lain selalu lebih hijau dari rumput sendiri
adalah judul yang artinya Tata menyadari ketertekanan dirinya bahwa suatu yang
tidak ia miliki selalu berkesan lebih indah, lebih baik, lebih enak dll.
Kesadaran itu menggiring Tata untuk berkarya dengan visual manusia kartunal
yang memakai topeng babi, anjing, beruang dan kucing, topeng ini melambangkan
suatu yang diinginkan Tata, saat Tata menjadi seorang “babi” dia melihat orang
lain menjadi anjing, lalu ia ingin menjadi anjing, kemudian saat ia sudah
menjadi anjing ia ingin menjadi beruang hingga ia menjadi kucing, akhirnya Tata
“nrimo” karena ia tahu jika menuruti keinginan maka akan terasa sulit untuk
menurutinya.
Dengan
kondisi pasar seni rupa yang seperti sekarang ini, Dengan sadar Tata
berkompromi dengan kata “bebas”, yang menjadi pertanyaan jika pikiran Tata
seperti demikian, apakah Ia akan merasa terhukum dengan keadaannya karena Ia
berfikir realistis? Atau justru Tata merasa bebas disini karena ini benar
merupakan pikiran pribadinya? Kita hanya bisa menerka dengan meninjau
pendekatan yang diambilnya dari banyaknya pilihan opsi tujuan, terlihat tujuan Tata
adalah bagaimana ia berbicara mengenai dirinya dalam berfikir realistis, dia
sadar dengan cara dia berkesenian, untuknya seni rupa adalah sarana dia
berbicara, bagaimana memandang seni rupa dari sudut pandangnya, jika itu
tujuannya maka menurut penulis Tata sudah berhasil.
Dibandingkan
dengan Tata, penulis membandingkannya dengan John Casey dari Oakland karena
John juga berkarya berawal dari ketertekanan dan ambisi dirinya dalam
menanggapi hidup. Berbeda dengan Tata, John “membohongi” dirinya dengan selalu
berkhayal, “andai aku ini...” “andai aku itu...” dengan visual yang hampir
mirip (mengganti kepala dengan simbol lainnya). Dalam karyanya yang berjudul early
bloomer 4# dengan media Pen pada kertas, dengan ukuran 20″x 15″ dan dibuat pada
tahun 2009. Dalam karyanya John menginginkan dirinya sebebas mungkin
mengutarakan hatinya, entah dengan fikiran realistis atau hanya imajiner, dari
sudut pandang penulis karya ini menceritakan sebuah pikiran bagaimana seorang
anak menjadi dewasa sebelum waktunya, John tidak menceritakan kejadian dirinya,
hanya menceritakan pandangannya melalui karya ini. Jika Tata melebur semua
kepentingan menjadi bisa dikompromi, maka sebaliknya, John malah mengkritik
sosial yang harusnya menjadi apa yang menurut John ideal.
Pertanyaan
kemudian muncul, apakah John benar-benar merasa bebas? Apakah tujuannya sudah
benar tercapai? Kebebasan John disini hanya sebatas keluarnya daya khayalannya
saja menurut penulis, Tujuan dari John adalah kritik sosial tentang bagaimana
John meng-idealkan dunia menurut kacamatanya sendiri, dan jika John memilih
nilai ini sebagai tujuannya, maka sekali lagi dia juga berhasil.
Akhirnya kembali
pada kebebasan, kedua pendekatan di atas entah itu “kompromi” ataupun “mencari
bentuk ideal sesungguhnya” adalah dua bentuk bagaimana cara manusia “membohongi”
dirinya dengan kata bebas yang akhirnya berakhir pada titik yang sama yaitu tersalurkannya
pikiran dalam karya seni***
*Penulis adalah mahasiswa di Bandung
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar disini, terima kasih