Oleh : Muhammad Rahman Athian S.Pd.,
M.Sn
Berabad
lamanya manusia berbahasa, selama budaya ada selama itu pula seni rupa mengada.
Karena awal bahasa manusia melalui seni, maka banyak pakar yang mengatakan seni
adalah pengawal peradaban. Kaitan judul besar yang saya canangkan sebenarnya
dibenang-merahi oleh pembeda seni dengan visual telanjang (estetis) yang
dianggap visual telanjang (kecabulan). Persoalan tersebut mengarahkan saya pada
tabrakan fenomena “ketelanjangan pada visual seni rupa” dalam konteks yang
berseberangan yaitu seni yang bertujuan membuat etika semakin halus dengan
pornografi yang justru merusak etika.
Di Indonesia,
yang notabene merasakan memiliki kebudayaan majemuk, saya belakangan merasa sedemikian
cemas, ketika persoalan memperlihatkan tubuh tertentu dianggap melakukan aksi
penyebaran konten porno. Padahal justru goyangan-goyangan “maut” dengan baju
supermini-transparan tidak dianggap pornoaksi. Saya kira badan sensor terlalu
lamban memahami perbedaan visual telanjang-kecabulan dengan karya seni. Meski
bukan berarti semua yang telanjang bisa mengatasnamakan seni. Menyamaratakan
semua bentuk ketelanjangan sesungguhnya merupakan ritus kekonyolan, yang meresahkan
dengan menutup semua bentuk ketelanjangan tanpa terkecuali.
Persoalannya
apakah telanjang harus selalu menjadi bentuk pornografi?
Pemerintah
melalui undang undang no 44 atau 2008 tentang pornografi menegaskan bahwa Pornografi
adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan atau atau pertunjukan di muka umum, yang
memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat. Kalimat terakhir di undang-undang tersebut adalah sebuah kalimat
pengunci, sesuatu dikatakan pornografi jika memuat kecabulan dan eksploitasi
seksual yang melanggar kesusilaan di masyarakat. Jadi tidak harus telanjang
bukan?!
Lalu
bentuk ketelanjangan seperti apa yang bisa didaulat sebagai bentuk seni?
Salah
satu masalah yang dihadapi seniman saat ini, di masyarakat pada lukisan
telanjang adalah kesan negatif yang terkait dengan lukisan jorok dan tak
senonoh. Padahal ketelanjangan sendiri adalah bentuk fitrah manusia yang
sesungguhnya. Manusia yang mengartikan ketelanjangan justru dengan pelbagai hal
yang mengkotak dan dangkal, yang sekiranya justru membuat kemurnian menjadi
ketabuan. Tentu pemahaman filosofis tentang ketelanjangan di atas bukan dari
asas pemikiran agama.
Jika seni
yang di dalamnya memuat bentuk ketelanjangan dilegitimasi sebagai sebuah persoalan
tentang ekpresi seniman, mungkin juga perlu lebih jeli memahaminya. Saya
menganalogikan jika seseorang melakukan tindak kriminal (misal:membunuh) dan
mengatasnamakan kegiatan tersebut dengan terminologi seni, apakah ini sah?
(jelas tidak). Akhirnya menjadi jelas, berarti seni harusnya dilegitimasi oleh
kebudayaan itu sendiri, dengan demikian seni adalah tindakan spesial yang
disetujui oleh masyarakat di mana para pribadi hidup bersama di lingkungan
tertentu.
Jika
dilihat kembali, Fenomena visual ketelanjangan datang dan diperkenalkan oleh
bangsa Belanda sejak jaman kolonial di negara kita, untuk mempelajari anatomi.
Meski tidak sedikit karya-karya jaman Hindu-Budha yang memiliki visual terbuka.
Persoalannya adalah, dahulu tidak ada undang-undang pornografi! Edhi Sunarso,
seorang empu patung Indonesia, saat membuat patung di atas tugu Pancoran juga dibuat
dengan berlapis kain saja! Apa kita perlu beramai-ramai datang dan menutup
dengan kain?! Sayangnya kini di televisi, patung tersebut mungkin segera akan
terkena lembaga sensor dengan memburamkan bentuk tertentu, padahal itu representasi
rahyat Indonesia. Jika tujuan digambarkannya ini untuk memperlihatkan betapa
“super-nya” bangsa kita, indahnya tak harus ditutup. Atau fenomena “The Creates of Adam Michaelangelo” yang
mempertontonkan visual telanjang pula dengan demikian dramatisnya untuk
memperlihatkan penciptaan Adam yang “murni”.
Jadi
sedemikian wajarnya, lukisan dengan bentuk terbuka yang memberikan kesan di luar
nafsu seperti michaelangelo dan karya Adhi Sunarso tadi, menegaskan bahwa
ketelanjangan seharusnya tidak dikaitkan dengan pornografi. Seharusnya badan
sensor memberikan alasan pada momen blur, dan tidak sembarangan melakukan
bluring pada satu karya seni.
*Adalah Kurator Seni Rupa dan Dosen Universitas Negeri
Semarang
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar disini, terima kasih