Oleh : Muhammad Rahman Athian
Permasalahan science merupakan pendekatan baru
dalam dunia seni rupa yang di barat sering di istilahkan sebagai science
matters (permasalahan keilmuan). SciMat adalah disiplin baru yang memperlakukan
semua manusia tergantung dari bagian ilmu pengetahuan, dimana manusia (yang
berawal dari Homo sapiens) yang dipelajari secara ilmiah dari perspektif sistem
yang kompleks. Bahwa "segala sesuatu di Alam adalah bagian dari ilmu
" hal tersebut diakui oleh Aristoteles dan da Vinci bahkan banyak lainnya.
Namun, Baru-baru ini, dengan munculnya ilmu pengetahuan modern dan pengalaman
berkumpul di studi evolusioner dan ilmu kognitif, neuroscience, fisika
statistik, sistem yang kompleks dan disiplin ilmu lainnya , yang kita tahu
bagaimana disiplin buatan manusia –saling terkait dan dapat dipelajari secara
ilmiah. Science Matter ( SciMat ) mencakup semua topik di humaniora dan
ilmu-ilmu sosial, seni pada khususnya. Seni di sini termasuk seni visual,
sastra, Film, musik, arsitektur, seni pertunjukan, seni media baru dan
sebagainya.
Penulis memiliki hipotesis awal dan menangkap adanya
tendensi Michael Binuko dalam karyanya yang berjudul “Sale Type Neuron” dan
“spiral sponge” yang dipamerkan di Lawang Wangi Art Sociates dalam rangka
rangkaian Bandung Contemporary. Untuk itu penulis ingin membuktikan hipotesa
penulis dengan melakukan kinerja kritik seni akademis dengan pendekatan
mimesis, yaitu berawal dari deskripsi, Analisis Formal, Interpretasi dan
Evaluasi dengan cara membandingkan dengan karya yang senada.
Dari Nampak :
Hitam Putih dan Goresan Pulpen yang Kental
Masuk dalam jajaran seniman Bandung Contemporary
tentunya bukan perkara mudah, Michael Binuko (biasa di pangil koko) mampu
melakukannya dengan hasil karyanya yang terbilang detail. Secara nampak karya
koko memiliki warna hitam putih, dengan goresan-goresan pulpen yang teratur dan
sangat detail. Pada karya berjudul “Sale Type Neuron” penulis melihat sebuah
bentuk persegi panjang yang disusun berjajar, dan ditengahnya terdapat arsiran
halus, dengan beberapa ditebalkan di sisi sampingnya. Itu semua dikelilingi
oleh goresan pulpen yang dihitamkan sedangkan Koko membatasi jarak hitam arsir
satu dengan sebelahnya dengan jarak tipis berbentuk octagonal, dengan lebih
banyak visual seperti octagonal yang di gambarkan lebih blur dan lebih kecil,
tentu saja dengan warna yang lebih pekat. Selain itu pada bagian pinggir
diperlihatkan Koko tentang visual yang putih dengan arsiran yang halus di
sampingnya dan dengan goresan halus di tengah. Seluruh karya tersebut di
bungkus dengan frame sebesar 55 x 65cm dengan besar karya asli sebesar 40x60 cm
dibuat dengan pulpen di atas kertas.
Gambar 1. “Sale Type Neuron”
Sumber : Penulis
Karya Koko tak hanya satu, karya yang berjudul
“Spinal Sponge” juga menarik untuk dikaji, karena berbeda dengan visual yang
pertama, kali ini dia membikin khasanah putih yang lebih banyak intensitasnya,
masih menggunakan teknik yang sama yaitu goresan halus berupa arsir dengan fokus bentuk
biomorfik. Dalam warna putih tersebut koko menambahkan bentukan biomorfik,
dengan detai dibuat dengan mempertimbangkan gelap terangnya juga. Lalu di
pinggir karya dibuatnya lebih gelap, dengan bentukan biomorfik yang di dalamnya
juga diberi bentukan yang sama hampir seperti itu.Karya yang besarannya 82 x 52
cm tersebut di bingkai dengan apik dengan warna putih.
Gambar 2. “Spinal Sponge”
Sumber : Penulis
Bentuk- bentuk yang dibuat Koko
menyerupai gambar yang pernah penulis lihat dalam buku Biologi dahulu,
menariknya sebelum Koko konsisten dalam membuat karyanya yang berfokus pada
penggambaran biomorfik dan persoalan science. Dalam karyanya yang berjudul “Sale
Type Neuron” Koko menggambarkan beberapa buah sel yang tertumpuk satu sama
lain. Sel tersebut dikelilingi octagonal yang bersinar, octagonal yang
berlayer-layer yang saling terkait satu dengan lainnya. Dalam karya yang kedua,
Koko membuat sel yang berlubang, sel tersebut nampak bertekstur mengingat Koko
menggambarkannya dengan detail dan berlayer. Bolongan bolongan tersebut nampak
tidak seperti bolongan yang alami namun bolongan yang disebabkan karena
penyebab lain.
Menurut penulis, warna hitam putih
dapat dilihat sebagai suatu yang bersifat netral, sehingga penulis bisa
mengimajinasikan bentukan apa yang terlihat dalam karya koko, berimajinasi
dengan warna apa yang kiranya ada jika benar sel tersebut ada, bayangan
bayangan itu dirangsang justru karena warnanya hanya hitam putih.
Kidung Sel
Melalui Imajjinasi
Seperti
yang kita sudah semua tahu perubahan ragawi pada makhluk hidup umumnya terjadi
dalam dua proses, evolusi dan mutasi. Evolusi merupakan mekanisme pertahanan
hidup yang terjadi secara perlahan dan bertahap yang dipengaruhi oleh kondisi
tempat tinggal, sedangkan mutasi merupakan perubahan ragawi yang terjadi secara
cepat karena paparan radioaktif atau zat kimiawi. Dalam proses mutasi manusia
terlibat secara aktif. Disebut demikian karena perilaku manusia dalam
kehidupannya amat mempengaruhi alam.
Koko
menghadapkan perhatiannya pada permasalahan isu kerusakan lingkungan. Salah
satu isu yang sering menjadi sorotan adalah tentang pencemaran air. Barangkali
satu contoh kasus pencemaran air dengan dampak yang merusak sekaligus paling
diingat sejarah, adalah kasus Sungai Minamata yang pernah terjadi di Jepang.
Kasus yang terkuak di tahun 1956 ini disebabkan oleh limbah merkuri hasil
buangan industri Chisso Chemical yang mencemari air di sepanjang aliran sungai
tersebut, yang menyebabkan pelemahan sistem syaraf dan kelainan genetik pada
makhluk hidup. Kasus tersebut menjadi sorotan dunia karena memakan korban hingga ribuan jiwa. Kasus
pencemaran air yang merenggut
korban jiwa juga berkali-kali terjadi di Inggris pada tahun 1800-an, kala negara tersebut sedang merayakan
era revolusi industri. Wabah kolera, cacar, dan tifus melanda negara itu dan diperkirakan
telah menyapu sepertiga penduduknya.
Koko
menitikberatkan alam dari segi biosfer atau komponen hayatinya. Lebih
khususnya, dalam menetapkan fokus pembicaraan biosfer pada masalah fauna
(hewan). Pemilihan ini berdasarkan perilaku fauna yang cenderung aktif, dan
ketimbang flora (tetumbuhan) respon yang mereka berikan pun jauh lebih kaya
sehingga sangat menarik untuk diteliti, baik itu dari segi mimik, gestur,
maupun tingkah tanpa membuat kita kehilangan rasa penasaran untuk meneliti
komponen pembentuk raganya (tulang belulang, otot, organ, hingga sistem organ).
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, evolusi dijelaskan sebagai kata serapan dari
bahasa Latin yang berarti: 1pertumbuhan
setingkat demi setingkat secara lambat, tapi teratur; gerak yang membentuk satu
rentetan gerakan lainnya seperti pada mesin-mesin; perubahan yang terjadi
perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, sampai kepada bentuknya yang terakhir.
Dalam tulisan pengantar karya ini, penulis mendefinisikan evolusi sebagai suatu
mekanisme genetik yang bersifat adaptatif dan berperan sebagai salah satu
sistem pertahanan dalam tiap makhluk hidup yang muncul secara bertahap sebagai
respon atas lingkungan tempat tinggalnya. Evolusi sebagai suatu perangkat
adaptasi merangkap perubahan bentuk fisik, serta sistem dan fungsi organ.
Umumnya
mutasi itu merugikan karena menyebahkan ganguan kesehatan (seperti tumor dan
kanker), mental (seperti pada Sindrom
Jacobs), dan membuat individu yang terpapar (mutan) kehilangan kemampuan untuk bereproduksi secara generatif. Di
sisi lain, walaupun masih sebatas pada tetumbuhan, manusia juga sudah sering
memanfaatkan bantuan mutasi untuk merakit bibit-bibit (kultivar) yang sifatnya unggul, contohnya anggur tanpa biji atau
buah stroberi yang besar. Pemanfaatan ini lazim disebut sebagai “pemulian
mutasi”. BATAN (Badan Atom Nasional) sendiri telah menghasilkan beberapa kultivar unggul padi yang dirakit
melalui mutasi. Kesimpulan kasar yang dapat diambil dari dua berita ini adalah,
selain memiliki dampak negatif, mutasi juga memiliki dampak positif.
Di
sini penulis mencoba mengajukan dugaan bahwa mungkin ketika jumlahnya masih
sedikit, mutan pada awalnya disebut
anomali; tapi jika ternyata, sementara mereka luput dari pengamatan kita,
mereka mampu melakukan proses reproduksi berkelanjutan serta memiliki ciri
genetik yang stabil, maka mau tidak mau kita kemudian menerimanya sebagai suatu
spesies baru. Jika benar kemampuan evolusi disebabkan oleh adanya faktor
kemampuan alam untuk selalu memperkaya keanekaragaman substansi pembentuk
dirinya, maka penilaian positif ini bisa jadi sangat relatif, atau mungkin
justru mengandung nilai ironi
(sebagai bentuk perubahan yang diakibatkan kecerobohan manusia).
Membandingkan Karya Michael Binuko, Daniel Zeller, dan
Nicole
Agaggio
Visual
mutasi yangdiungkapkan Koko dalam format kekaryaan yang
merupakan hasil interpretasi
bebas (imajinasi) atas permasalahan tersebut. Komponen pembentuk raga makhluk
dalam karya ini secara imajinatif dihasilkan dari perpaduan berbagai kelas (class) dalam kerajaan binatang, baik
masih ada maupun yang sudah punah, namun tampilan kasarnya diambil dari makhluk
yangtinggal
di wilayah perairan. Perpaduan
antara binatang yang masih ada dengan yang sudah punah ini dilakukan untuk
mengurangi kecenderungan pemikiran bahwa makhluk ini merupakan spesies baru,
dengan demikian membuka kesempatan apresiator untuk masuk dalam kemungkinan
imajinasi lain, bahwa makhluk ini merupakan makhluk purba yang selama ini luput
dari pengamatan. Penggunaan gaya imajinatif yang memadukan berbagai kelas dalam
kerajaan binatang sengaja penulis lakukan untuk membidik nalar apresiator yang
membutuhkan kondisi ‘logis’ agar mereka yakin akan keberadaan makhluk ini.Seolah
makhluk tersebut ‘nyata’, kemudian bertanya-tanya atau bahkan menjadi percaya
akan keberadaannya. Bagi penulis, baik kondisi mempertanyakan maupun
mempercayai keduanya sama penting, sebab secara terbalik keduanya menjadi
jawaban atas pertanyaan terhadap ‘kebenaran’ sains dan nalar.
Berbeda
dengan Koko Daniel Zeller seniman warga negara Jerman, membuat karyanya atas
dasar hanya kesukaannya akan bentuk bentuk Biomorfik, dengan tanpa
mempertimbangkan riset dan pengolahan data terlebih dahulu hanya akan membuat
karya Daniel berkutat pada persoalan formalis yang berujung hanya pada
kemiripan bentuk dengan sel-sel biomorfik. Sedangkan di sisi lain, karyanya
yang tidak terlalu besar membuat dia bisa mengeksplorasi warna dengan
menggunakan stabilo atau spidol, dengan intensitas sesuka hatinya tanpa
melakukan kajian riset.
Gambar 3. Karya Daniel Zeller
Sumber : Vitamin D
Nicole Agaggio seorang seniman yang berasal dari Perancis yang
pada tahun 1970an melukiskan banyak visualisasi mengenai bentukan biomorfik, bedanya
dengan Koko adalah, jika Nicole hanya menjadikan lukisannya mimesis dari
risetnya tanpa membuka peluang imajinasi (hanya foto/tiruan) namun koko
menambahkan kemungkinan kemungkinan kedua sel bisa saling bertaut, saling
memutasi, karena secara logika dari ratusan milyar mahluk hidup di dunia sangat
memungkinkan jika dalam satu sel saja terlihat gambar yang mirip dengan Koko
dengan pendekatan persilangan genetik.
Gambar 4. Karya Nicole Agaggio
Sumber : Art and Sciences
Mutu
dari karya Michael Binuko menurut penulis ada di atas kedua seniman di atas,
ini dikarenakan Michael mengutamakan daya imajinasinya yang berawal dari riset
dan menggabungkannya menjadi karya yang menginspirasi orang lain, penulis
beranggapan seperti itu karena dalam dunia ilmu pengetahuan sendiri banyak
ditemukan teori dan alat bantu manusia berawal dari hipotesis seperti yang
dilakukan Koko. Alih-alih berimajinasi, Koko sebenarnya telah memberikan
sumbangsih pikirannya melalui karya ini.
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar disini, terima kasih