"Hitam - Putih" Museum Barli
Setelah kemarin saya tuliskan
banyak hal mengenai tata ruang dan sedikit kegiatan di Museum Barli, kini saya
akan menulis dan menjabarkan kegiatan di museum Barli yang mendasari hidupnya
museum Barli. Museum ini adalah museum privat yang digarap sendiri oleh pak
Barli[1]
karena ingin mendokumentasikan sekalligus mempublikasikan karya Barli dari awal
kegiatannya berkesenian hingga menutup mata. Tentu saja tulisan saya akan saya
buat se objektif mungkin agar memudahkan pembaca memahami situasi yang
sebenarnya.
Setelah melakukan wawancara saya
mendapat banyak sekali informasi yang menarik soal museum Barli, mengenai visi
dan misi dalam museum tersebut ternyata telah mengalami pergantian sejak tahun
2002, dari awalnya sebagai privat museum yang tidak terbuka untuk publik
menjadi museum yang terbuka untuk publik. Namun karena museum adalah benda
mati, maka diperlukan manajemen yang baik guna melanggengkan museum tersebut,
akhirnya pada tahun 2009 cucu Barli yaitu Adit mengubah manajerial museum menjadi
lebih go publik. Yang pertama dilakukannya adalah membuka kegiatan kelas
menggambar di Barli, lalu membuka kelas seni rupa yang bekerjasama dengan
sekolah SD hingga SMA, yang kedua adalah melakukan display dengan meletakkan
banyak barang kuno tahun 70-90an awal, barang-barang tersebut seperti nintendo,
Atari (sejenis permainan game yang di hubungkan dengan tv), komik buatan anak
negeri yang dulu cenderung berkiblat ke “barat” tiruan komik Batman, spiderman
dan tak lupa Gundala.
![]() |
usaha memsyarakatkan museum barli |
Museum barli bisa bertahan tanpa
campur tangan dana dari pemerintah, namun tetap meng-gratis-kan semua
pengunjung yang ingin mengakses karya Barli secara langsung, dengan cara
membuat sanggar menggambar dan lukis serta membuat kelas yang bekerjasama
dengan sekolah dan menetapkan sedikit biaya untuk bertahan, itulah yang membuat
museum barli dapat hidup hingga saat ini, menurut saya manajemen museum Barli
yang seperti ini patut di tiru oleh museum privat lainnya, agar publik bisa
mengakses seni rupa dengan lebih dekat itu juga dikarenakan setian hari senin
sore museum Barli memberikan kelas gratis untuk masyarakat sekitar yang
kebanyakan anak dari “pemulung sampah” dan pekerja berat lain dengan memberikan
wadah kreasi dan bimbingan kreatifitas secara gratis.
![]() |
proses sanggar Barli |
Namun, selain kelebihan tentu ada
juga kekurangannya, yang pertama adalah suhu udara dalam museum yang tidak di
atur, membuat banyak kondisi objek museum yang rentan rusak, banyaknya
lukisan-lukisan “tiruan” dikarenakan karya aslinya entah dimana, ini menegaskan
manajerial tempat di museum Barli sangat memprihatinkan. Saya juga tidak
diperkenankan melihat storage dari museum tersebut, saya curiga museum ini
tidak mempunyai storage, atau mungkin memang punya hanya saja kondisinya sangat
kacau hingga saya tidak boleh mengaksesnya. Ada sedikit lagi koreksi dimana
museum ini tidak memerlukan kurator, saya bertanya dalam hati bagaimana sebuah
museum bisa tidak memiliki kurator? Apakah hal ini masih bisa dikatakan museum?
Harusnya museum privat (yang anti pemerintah) sekallipun harus mengikuti
standarisasi dari ICOM (International Council of Museums) atau paling tidak mengikuti kode
etik museum.
Terlepas dari ini semua, kinerja
museum adalah memperkenalkan dan upayanya untuk mengedukasi masyarakat dalam
hal ini seni rupa, Museum Barli sudah melakukannya dengan baik, namun saran
saya adalah ketika sebuah museum yang sulit menjaga karyanya dan
mendokumentasikan baik karya-karya nya apakah masih bisa dikatakan sebagai
sarana edukasi seni yang baik?
![]() |
kelompok lima |
*penulis
adalah mahasiswa di Bandung
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar disini, terima kasih