Oleh :Muhammad Rahman Athian*
(Salah satu lukisan Buna Wijaya sedang diapresiasi)
Saat masuk di bale tonggoh,
di Selasar Sunaryo Art Space pada tanggal 19 Oktober 2012, saya disambut dengan sebuah pameran tunggal
Bunawijaya yang berjudul “membaca langit merapi” dan beberapa ucapan selamat
dan sukses berupa karangan bunga dari perusahaan-perusahaan, serta hiruk pikuk
seniman senior tak kalah ramai beradu dengan obrolan seniman muda pada malam
itu. Saat katalog dibagi sesaat pengunjung mulai membuka katalog dan berpikir
“kok lukisan pemandangan?” banyak pikiran pengunjung tergiring ke lukisan
pemandangan “mooi indie”.
Dalam kuratorialnya, Jim Supangkat
mengatakan lukisan Bunawijaya “menyerempet” citra lukisan pemandangan alam itu
karena mempersoalkan keindahan, namun beliau menegaskan ini bukanlah mooi indie
seperti yang dikatakan Sudjojono, namun sebaliknya ini adalah jiwo ketok dari
seorang seniman yang membaca alam dari dalam jiwanya, pelukis adalah seorang
yang sangat dekat dengan alam karena beliau sering melakukan berburu dan itulah
sebabnya beliau sangat dekat dengan alam nampaknya menjadi cukup adil jika
Bunawijaya melukis alam yang dicintainya. Visinya adalah mendokumentasikan alam
yang terganggu dalam sistem ekologinya karena manusia serakah dalam
mengeksploitasi alam.
Mengingat judul pamerannya
adalah membaca langit merapi di tambah dengan kuratorial pak Jim, sudah sangat
terbayangkan betapa hubungan alam dan manusia terjalin terus menerus hingga
bumi ini tak pernah beristirahat, Gerak tiada henti yang berukuran 120 X 200
senti dan dibuat dengan akrilik pada kanvas mempertunjukkan sebuah lukisan yang
digambarkan berupa sebuah batu yang terpukul ombak halus tapi pasti terus dan
terus, dalam lukisan terlihat riak ombak yang menggerus batu dengan konsisten
dengan warna putih yang khas dan batu berwarna coklat yang cukup menonjol dalam
lukisan ini, batu tersebut menjadi kunci dalam lukisan ini, dimana batu yang
tergerus ombak itu akan mengalami proses erosi lama kelamaan batu itu tergerus
dan hilang. Kekuatan tekstur pada lukisan Bunawijaya semakin memperkuat kesan
riak dan kerasnya gelombang ombak yang menghantam batu karang. Gambaran itu
memberikan kesan perlintasan waktu, dari batu yang dulu besar, kemudian ter
erosi dan akhirnya hilang sama sekali.
Dengan nafas 79 tahunnya
Bunawijaya masih sangat apik dalam memberikan kesan kebrutalan alam, Misteri
langit III lukisan dengan dengan ukuran 120 X 200 senti ini jelas sangat
menggambarkan kekuatan yang sangat besar oleh alam. Gunung merapi yang meletus
sekitar tahun 2010 kemarin membuat Bunawijaya berfikir bahwa alam terus
bergerak menjaga, menstabilkan sekaligus merusak dirinya dan menggantinya
dengan sesuatu yang lebih baru, dia menggambarkan sebuah gunung merapi besar
berwarna kehitaman lengkap dengan kepulan asap tebal dan tekstur yang kasar
yang sering disebut “wedhus gembel” yang sangat panas. Melalui lukisan ini
Bunawijaya menggiring kita untuk berfikir alam mengingatkan kepada manusia
karena alam juga memiliki kekuasaan yang sangat besar. Dikarenakan alam
merupakan suatu yang bergerak, merusak dan kemudian berganti dengan kondisi
yang lebih baik siklus itu terus berputar hingga membuat dirinya berfikir
tentang keabadian alam sementara makhluk hidup terbatas oleh waktu.
Pada lukisannya yang ketiga
yaitu lukisan masih membara dengan ukuran yang sama dan pengerjaan yang sama
pula, Bunawijaya menggambarkan siklus terakhir dari sebuah proses makhluk hidup
yaitu kematian, makhluk hidup yang sangat rentan terhadap waktu dan ruang
membuat makhluk hidup terlihat sangat lemah jika dibandingkan dengan alam, alam
dalam prosesnya memperbaharui dirinya seringkali meninggalkan bekas yang
mengerikan kepada makhluk hidup. Saat makhluk mati alam akan segera
menggantikannya dengan yang baru, itu merupakan sebuah siklus yang terus
menerus terjadi.
Secara keseluruhan karya
Bunawijaya menggambarkan tentang siklus tersebut, yang pertama adalah tentang
alam yang selalu bergerak tiada henti, kedua tentang kekuasaan alam dalam
mengubah dirinya, dan yang terakhir adalah sebuah proses akhir dalam siklus
makhluk hidup yang dipengaruhi oleh alam yaitu kematian makhluk hidup yang
secara kontras digambarkan bahwa kekuatan alam yang absolut dengan makhluk
hidup yang sangat mudah terkena dampak kekuasaan alam.
Maka karya ini dapat
menjadi sebuah renungan personal Bunawijaya tentang alam, kedekatannya dengan
alam membuatnya merepresentasikan semua dibalik keindahan alam ada sebuah
kekuatan yang perkasa dan siap ia hempaskan kapan saja, sekaligus mengubah
paradigma bahwa lukisan pemandangan adalah lukisan murahan seperti apa yang
dikatakan beberapa kritikus terkenal karena sesungguhnya lukisan pemandangan
yang memperlihatkan jiwa pelukis di dalamnya dan sesuai dengan perjalanan
hidupnya menjadikan lukisan tersebut “masuk akal” bagi kita untuk digolongkan
bukan sebagai lukisan mooi indie tapi lebih sebagai dokumen dan renungan
pribadi yang digubahnya agar bisa dinikmati banyak orang.
*) penulis adalah
mahasiswa pascasarjana seni rupa ITB Bandung.
|
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar disini, terima kasih