Oleh : Rahman
Athian
Sebuah pertanyaan
tiba-tiba timbul sesaat setelah saya mendengar judul pameran ini, yaitu
"tanpa narasi" pertanyaan yang timbul tentu saja bagaimana sebuah
pameran tersebut secara terang-terangan menamai dirinya tentang tidak perlunya
sebuah narasi dalam satu pameran? Padahal kepentingan narasi sangat dibutuhkan
dalam setiap pameran seni, apalagi di publik Indonesia yang belum sepenuhnya
melek seni.
Ada beberapa pikiran
yang mungkin timbul saat mendengar tema tersebut, 1. Seniman penyelenggara anti
narasi, 2. Pendekatan karya seni dalam pameran ini tidak berbentuk sehingga
tidak bisa dinarasikan, 3. Karya sudah bersifat naratif sehingga tidak perlu
lagi melakukan proses narasi atau kemungkinan paling buruknya adalah 4. karya
seni dalam pameran ini memang tidak dikondisikan dengan benar sehingga untuk
membingkainya secara "aman" cukup dengan pernyataan tanpa narasi.
Pertanyaan mendasar di
atas nampaknya jelas akan terjawab setelah saya kemukakan secara harfiah apa
yang dikerjakan seniman-seniman tersebut.
Melihat karya dalam
pameran ini akan lebih jelas jika dikaitkan dalam pendekatan bahasa terlebih
dahulu. Kata "seni" telah mengalami banyak sekali perubahan makna,
seni sebagai bentuk catatan di mesir, sebuah tiruan seperti yang Plato
ungkapkan, seni sebagai sebuah pendekatan keagamaan, seni yang berdiri
sendiri, kemudian seni yang melawan seni (posmodern) dan terakhir seni yang
sifatnya sangat cair yaitu kontemporer.
Seni sebagai sebuah
ilmu banyak beririsan faham dengan filsafat, seni yang terus mempertanyakan
dirinya membuatnya tidak angkuh dan kaku dalam melewati jalannya roda waktu. Manusia
sebagai kuasa atas seni dan filsafat memiliki hak prerogatif dalam
mengeksploitasinya, untuk menjawab 1+1 tentu manusia harus belajar
mengumpamakan satu barang jika ditambah satu barang akan menjadi 2 barang,
namun kejadian berikutnya akan menjadi ilmu yang berbeda kajiannya diganti
setelah manusia meletakkan 2 tikus dalam got pembuangan dan setelah satu tahun
menjadi puluhan ekor.
Benar! Itulah cara
berfilsafat, cara terbaik untuk menjadi filsuf adalah dengan cara selalu ingin
tahu, anehnya, cara terbaik menjadi seniman bukan hanya dengan cara "ingin
tahu banyak tentang seni, melainkan tahu banyak apa yang ada di dunianya
(seniman) untuk kemudian dibahasakan menjadi seni", dengan kata lain
seniman juga filsuf, ada benarnya jika mengatakan demikian karena seniman
berusaha menyuarakan suatu dari kegelisahan pemikiran dirinya dari yang
bersifat pribadi hingga bersifat umum.
Dari pernyataan yang
disebutkan bahwa seniman sesungguhnya juga melakukan tahapan filsafat, maka
tentu saya menemukan jawaban atas pertanyaan yang saya lontarkan tadi, jawaban
tersebut bukan dari 4 asumsi yang saya ungkapkan pada paragraf awal, melainkan
ada pada letak kesadaran seniman dalam menarasikan pemikiran mereka dengan
bahasa filsafat “tanpa narasi”, dengan kata lain tanpa narasi bukanlah secara
harfiah diartikan tidak menggunakan narasi, melainkan memberikan ruang penuh
pada apresiator untuk turut merasakan ketiadaan narasi dengan maksud mengajak
apresiator menelaah dalam lapisan sedalam-dalamnya tanpa dibatasi sebuah narasi
yang mengikat.
Saya sempat membaca
Novel menarik tentang pencarian seorang wanita muda tentang dirinya melalui
filsafat, novel tersebut berjudul Dunia Sophie karangan Jostein Gaarder.
Dikisahkan Sophie mendapatkan kiriman surat misterius yang datang kepadanya,
isinya sangat rumit meski surat tersebut hanya berisi sebuah pertanyaan dan
Sophie membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menelaahnya, saking asyiknya ia
berfikir tentang isi surat tersebut terlontar dari ucapannya sebuah kalimat
“bawa roti yang banyak saat membaca, tapi bukan untuk dijadikan cemilan ketika
duduk-duduk manis membacanya, tapi untuk menabur remahnya di sepanjang jalan
karena bisa jadi pikiranmu tersesat dalam jalan filsafat (saat membacanya).
Kedekatan filsafat
dengan seni kini tidak terlalu dekat sampai bisa menyatukan “ketersesatan” itu
secara bersamaan, ketersesatan ini saya maksudkan saat manusia berfikir tanpa
batasan dan sering mempertanyakan suatu hal yang sebenarnya sudah terjawab.
Seni tidak demikian, semakin dikupas kedalamannya seni akan semakin menarik
namun jika dikupas terlalu dalam kita hanya akan menemukan catatan-catatan yang
tak lain hanya sebuah tiruan benda, hanya sebuah coretan-coretan dan mungkin
jauh dari bermakna.
Wacana Lepas
10 Seniman tersebut
adalah Dukan Wahyudi, M. Yunizar Mursidi, Susilotomo, SE Dewantoro (gepeng),
Joko Sulistiono (joko gundul), Zainul Qusta, Toni Ja'far, H. Nur Cholis, Suci
indyaswati, dan Wahyu Utami (video Art) yang menyajikan karya dengan pendekatan
hampir berbeda secara teknik, meskipun seluruh seniman bermain hanya pada
tataran 2 dimensi, Dukan Wahyudi menggabungkan teknik lukis realis dengan
grafis stensil, pendekatan yang tidak terlalu baru memang mengingat konsep yang
ia usung adalah perubahan yang muncul pada diri manusia terhadap kebaruan, saya
membaca adanya sebuah kombinasi antara idealis dan penyesuaian kebaruan dalam
karyanya “every body’s changing”.
Qusta (kabar dari
burung) dan Sedewantoro (kepala-3) menggambarkan kepala, hanya saja Qusta
menggambarkannya dengan nuansa modernis (karena berupa bentuk kubisme yang
bermotif) dan Sedewantoro menggambarkan sadistis keduanya menggambarkan sebuah
kepala, pemahaman saya tentang sudut pandang kedua seniman ini terletak pada
satu simpulan kalimat “kepala mewakili manusia-manusia mewakili
komunitas-komunitas mewakili peradaban” keduanya berusaha menampilkan apa yang
mereka lihat mengenai kondisi peradaban saat ini.
Toni membicarakan
sebuah wacana “lepas” mengenai sebuah bentuk dengan judul menyambung yang
retak, dari sebuah visual retakan Toni menggambarkan sebuah visual dengan layer
yang terlalu dalam menurut saya, semoga publik bisa memahami “palung” tersebut.
Sementara Yunizar menganggap adanya persamaan bentuk antara botol dan
smartphone kini, yang menurutnya cukup meresahkan ketika harus berhadapan
dengan sosialita dunia maya yang mengerikan. Kemajuan teknologi juga diresahkan
Nurcholis hingga membuatnya melukiskan sebuah lukisan berjudul “tersadap”
sebuah wacana yang cukup santer kita dengan akhir-akhir silam.
Sebuah pendekatan
surealis yang dibawa oleh Suci menggambarkan sebuah kain batik yang motifnya
tercecer, secara visual sangat terlihat bahwa karya yang berjudul “lepas” ini
menceritakan tentang keberadaan budaya tradisional yang kian memprihatinkan,
selain itu saya melihat kesiapan Suci dalam (pada pameran yang pernah saya
kelola) setiap pengepakan karyanya yang baik meyakinkan saya bahwa Suci memang
menekuni dunia seni dengan baik.
Susilotomo dan Joko
gundul menurut pembacaan saya menggunakan imaji-imaji yang sangat personal
dalam memvisualisasikan dasar pemikiran mereka, Susilotomo dalam karyanya yang
berjudul “para juara” ia gambarkan dengan seorang yang sedang tidur dengan di
sampingnya terlihat sebuah anak yang mantap mengepalkan keberhasilan, personal
sekali memang jika pembacaan ini saya kategorikan pada sebuah citraan mimpi
atau cita-citanya sendiri. Sedangkan Joko Gundul melukiskan sebuah lukisan yang
berjudul “kerajinan tangan di pojok kamar” merupakan sebuah implementasi
pikirannya yang ingin mengungkapkan museum hanya sebatas hiasan karya dalam
pojok kamar sang “empu karya” sah memang jika karya ini disebutkan sebagai
gagasan personal meski sebenarnya karya seni dalam museum bukanlah sekedar
hiasan atau kerajinan semata.
Wahyu utami mencoba
menarasikan sebuah tataran kedalaman layer yang secara tampak pada gambar
geraknya, saya sedikit mengutip pernyataan Wahyu “Saya terus mencari kemungkinan-kemungkinan
media proyeksi yang bisa digunakan dan bermaksud untuk memberikan pengalaman
baru dalam menonton agar penonton dapat masuk pada layer kedua yaitu ruang-ruang
virtual yang disajikan.”, dari sudut pandang saya video memiliki durasi visual
yang saya ibaratkan seperti kue tart utuh, sedangkan fotografi adalah
potongannya yang dikondisikan sebagaimana di inginkan pembuat (seniman), saya
yakin apresiator menunggu narasi-durasi yang ia tampilkan.
Pameran yang dibuka
pada tanggal 25 maret - 5 april 2014 di gallery orasis ini berkutat
pada persoalan masing-masing seniman yang disatukan dalam sebuah bingkai
kesadaran setiap seniman untuk memberikan konsumsi yang kritis terhadap
masyarakat, hampir seperti Sokrates yang selalu memberikan
pemikiran-pemikirannya kepada masyarakat walaupun akhirnya ia terpaksa harus
mengahiri hidupnya dengan meminum racun, bedanya karya 10 seniman ini mewujud
kebendaan dalam pameran ini secara sadar memberikan sebuah wacana (yang termuat
dalam karya masing-masing) kepada masyarakat bak filsuf yang menyadarkan
kondisi sekitarnya namun dengan bentuk visual yang tidak memaksa hanya berupa
“pengingat” tanpa memaksa mengkondisikan situasi tertentu.
*) Penulis
dan Kurator seni rupa muda
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar disini, terima kasih