Oleh: Muhammad Rahman Athian
The photograph is a
particular sort of image, one which operates through freezing a moment in time,
portraying object, people and places as they appeared within the view of the
camera at that moment. –Liz wells
Poster Follow The Light
Ide awal tulisan saya ini berangkat
dari esensi dasar fotografi yang bersifat membekukan satu momen, dengan setting
tertentu potongan momen yang diambil akan teralihkan dalam bentuk gambar yang
kemudian berpotensi mewakili satu kesatuan kejadian momen tersebut, adanya
perubahan sebuah materi dari nyata menjadi gambar akhirnya menggiring manusia
yang melihat akan berfikiran kejadian tersebut adalah fakta. Adanya kesepakatan
faktual ini menjadikan manusia percaya akan satu isu yang diwacanakan dalam
foto, sebelum video ditemukan foto digunakan media massa cetak untuk
menggambarkan satu kejadian tertentu agar publik meyakini berita yang dibawa itu
benar adanya, tentu saja dengan mempertimbangkan ranah publik mana yang menjadi
sasaran. Proses perpindahan sekali lagi terjadi antara sebuah konstruksi
fotografer yang di tangkap dalam gambar hingga sampai ke mata publik yang lama
kelamaan berpotensi membentuk satu kesepakatan budaya dan memungkinkan
menggelembung pada puncak budaya populer.
Namun tidak pada saat ini,
kemampuan teknologi membuat manusia tidak serta merta mempercayai foto sebagai satu
kutipan fakta, melainkan hasil rekaan digital yang dibuat menyerupai kenyataan.
Hingga fungsi foto tidak hanya dokumentatif, fotografi menjadi satu kesatuan konsep
yang hibrid di budaya populer kini. Pameran Follow The Light ini merupakan satu
rangkaian pernyataan dari jajaran kepercayaan sekaligus keraguan manusia
terhadap fotografi yang dibagi dalam tiga segmen ruang masing-masing memiliki
karakterisasi karya berdasarkan pendekatan wacana, yang satu sama lain
berhubungan.
Pada segmen pertama JPEG brand yang juga sebagai pemrakarsa pameran
ini memamerkan produknya sekaligus mewacanakan budaya populer dengan
menggunakan T-Shirt dengan image hasil fotografi di dalamnya yang juga menyoal tentang
T-Shirt sebagai produk populer yang akhirnya menjadi multilayer dan dinarasikan
sebagai satu konsep populer yaitu: “benda lebih banyak dipakai karena benda
tersebut sudah umum dipakai”. Gambar di dalam T-Shirt dekat dengan visual
populer, dimana menampilkan keindahan secara umum, menampilkan gerak erotis
wanita dalam mengenakan T-Shirt, keindahan yang berasal dari simpati atau
harmonisasi warna dalam susunan fotografi. Sedangkan konsep populer sendiri
menurut williams memiliki empat makna yang berarti: (1) banyak disukai orang;
(2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang;
(4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri (Williams, 1983:
237). dengan kata lain seniman fotografi menampilkan karya dengan foto karena menganggap
kekuatan fotografi dengan konstruksi tertentu mampu mewacanakan sebuah
permasalahan di atas.
Kinerja sebuah kamera hampir
menyerupai kinerja sistem penglihatan manusia, mata sebagai indera penglihatan
digantikan lensa kemudian otak sebagai penerima imej digantikan oleh film atau
jika pada kamera digital penerima adalah chip processors dan terakhir jika
manusia menggambarkan apa yang ia tangkap dengan tangannya maka kamera
menggunakan mesin cetak untuk memproduksi gambar, beralihnya momen tangkapan
menjadi benda wujud 2 dimensi dianggap menarik oleh Iqbal Krishnamurti saat
saya berdiskusi dengannya. Proses dari nyata menjadi data merupakan satu proses
yang ingin dituangkannya dalam bentuk paper cutting yang dibaca dari atas ke
bawah dengan detail metafora pohon organis yang digarapnya sebagai metafora
dunia nyata, melewati gerbang sebagai bentuk perjalanan dari nyata ke data lalu
berakhir pada bentuk kubistis sebagai metafora foto. Selanjutnya ia menimpali
pernyataannya dengan kalimat “saya juga meletakkan masalah dalam karya ini,
yaitu noise atau gangguan, dengan display di pojok ruang kaca saya harap
pengunjung dapat merasa terganggu saat melihat karya saya yang menghalangi
dirinya, atau kebalikannya”. Saya meng-iyakan pernyataan Iqbal, meskipun sangat
detail kinerja mesin dapat dicari kelemahan yang menyebabkan gangguan untuk
itulah diperlukan sudut yang tepat, cahaya dan pengondisian yang baik dalam
fotografi.
Saya menggaris bawahi perbedaan
manual dan mechanical di atas dengan kata kunci reproduksi manual dan
mechanical. Sebagaimana diungkapkan oleh Walter Benjamin;
“Mechanical reproduction of art changes the
reaction of masses toward art. The reactionary attitude toward a Picasso
painting changes into the progressive reaction toward a Chaplin movie”.
Keberadaan reproduksi mekanik
menggeser kinerja manual, namun justru disanalah letak keuntungan manual, tanpa
bermaksud merendahkan kinerja mekanik namun saya menangkap adanya emosi dan
ekspresi yang “lebih” saat melakukan kinerja manual. Dari awal saya penasaran
dengan karya apa yang akan dibuat Radi Arwinda dalam pameran ini, setelah
berdiskusi nampaknya Radi berniat memanfaatkan pintu galeri untuk karyanya, ia
menggunakan visual print capture yang ia terapkan pada kaca dan terefleksi dari
lampu hampir 90 derajat. Adanya satu hubungan antara “pembekuan satu momen
dalam komputer” menjadi metafora “pembekuan momen pada fotografi”. Saya
menangkap adanya dekadensi dalam pembuatan foto, dikarenakan mudahnya orang
mendapat media foto hingga menjadikan mudahnya meng-capture sebuah momen.
Diskusi awal saya dan beberapa
seniman disana termasuk Wiyoga Muhardanto berawal dari respon ruang, dari
ketersediaan ruang Wiyoga memanfaatkan dinding atas pintu akses depan ke ruang
tengah sebagai tempat mendisplay beberapa karya fotografi, drawing dan piringan
hitamnya serta performance art dari seorang perempuan yang beradegan menaiki
tangga dan memfoto karyanya di atas, Wiyoga menambahkan “ini menggambarkan
kondisi pemuda pemudi saat ini saat sedang melakukan kegiatan sosial seumuran
mereka, misalkan menonton konser yang kemudian ia foto tanpa memperdulikan
sekelilingnya” saya menunggu kejutan dari karya Wiyoga.
Sementara ikan laut dalam yang
digambarkan Pramunindyo adalah upayanya mewacanakan persamaan ikan laut dalam
dengan kamera dalam hal kebutuhan cahaya, keduanya sama-sama membutuhkan cahaya
dari awal kamera obscura yang menggunakan kaca untuk memantulkan cahaya
tertangkap film hingga kini berevolusi kamera memiliki fitur penghasil cahaya
di dalamnya yang disebut flash, ari menambahkan ikanpun demikian ikan terus
berevolusi dalam usahanya bertahan hidup hingga menjadikannya satu spesies
penghasil cahaya di laut dalam. Menurut saya terjadi relevansi kebutuhan cahaya
yang mendasar bagi keduanya untuk dapat “berfungsi”.
Pada segmen ketiga kami
menyepakati untuk menjadikannya sebagai ruang interaktif, MD Natsir memiliki
pendapat sejalan dengan Radi yaitu mengenai “sangat cairnya fenomena
fotografi”, ia mengungkapkan bahwa fotografi dapat di akses dengan cara yang
sangat mudah dari mulai kamera tercanggih hingga kamera HP membuatnya sangat
sangat cair, Natsir menggunakan stempel berupa satuan huruf dan memberikan
kesempatan pengunjung untuk berinteraksi dengan membuat susunan huruf yang
kemudian ia bekukan momen tersebut untuk artefak karya. Dari hasil diskusi
Natsir menggunakan media sosial berupa twitter untuk kemudian ia posting dan dalam
pameran Natsir menempel alamat web dengan tujuan pengunjung dapat mengikuti
perkembangannya setelah mengakses.
Re-narasi Ino dalam fotografi
diperlihatkan dengan memetaforakan keberadaan foto sebagai media refleksi,
dimana foto seringkali dipakai untuk menjelaskan satu rentetan kejadian foto
juga seringkali menjadi media representasi diri seseorang misal seorang bisa
diketahui sifatnya dari foto yang ditampilkannya di media sosial. Ia
memetaforakan konsepnya dengan kaca berbentuk film foto yang kemudian
dinarasikan dengan ditambah simbol dan tulisan jpeg di list foto sebagaimana
film foto asli ino sengaja membuat kaca film “netral” (non-negatif) dengan
maksud agar pengunjung lebih bisa berinteraksi dengan karyanya.
Saya berlanjut ke seniman
terakhir Fransisca Retno, saat saya menanyakan perihal “bagaimana fotografi
menurut anda?” Fransisca menjawab dengan kata kalimat “saya mengkritisi
potografi dan perkembangannya dari sudut pandang perempuan, seiring
perkembangan jaman kameran bisa diperkecil dan bahkan dibentuk dengan bentuk
tertentu yang ditujukan untuk keperluan “intip-mengintip (Voyeurism)” karya ini
berbentuk balok yang menyerupai obscura box, dalam karya ini anda dipersilahkan
“mengintip” dari lubang berdiameter sekitar 3 mm yang di dalamnya terdapat
visual wanita sexy jika lampu mati tulisan “when u crop a picture you tell a
lust” (fosfor) akan terlihat, dari karya ini saya juga berfikir kerugian
seseorang jika foto menjadi bukti faktual jika terjadi kasus fotografi yang
pada satu sisi terlihat asli belum tentu keadaannya demikian contoh kasus
paparazzi, kemungkinan seorang fotografer sengaja membekukan momen pada sudut
dan pose tertentu sehingga terciptalah kesan yang berbeda.
Untuk menutup tulisan ini saya
berharap agar pengunjung turut berinteraksi dalam pameran ini, kemudian
mengikuti kemana cahaya itu berjalan, dan sejenak pengunjung dapat merenungkan
bagaimana anda memanfaatkan media fotografi?
Daftar Bacaan :
Wells, Liz, The Photography Reader, Routledge (2003) New York.
Benjamin, Walter, Artikel
berjudul Extracts From The Work of Art in The Age of Mechanical Reproduction,
dalam The Photography Reader,
Routledge (2003) New York.
Williams, Raymond, (1983) Keyword, London: Fontana.
0 comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar disini, terima kasih